Breaking News

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Netralitas TNI-Polri: Langkah Maju atau Sekadar Jargon?

Ilustrasi TNI-Polri

D'On, Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan dengan mengabulkan uji materiil Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Dalam putusannya, MK menambahkan frasa eksplisit mengenai larangan bagi anggota TNI dan Polri untuk terlibat dalam politik praktis selama pilkada. Keputusan yang dibacakan pada Kamis (14/11/2024) ini sekaligus memperkuat norma yang melarang aparat negara, termasuk TNI-Polri, dari intervensi politik yang sering menjadi momok dalam proses demokrasi di Indonesia.

Sanksi Pidana: Ancaman Nyata atau Hanya Gertak Sambal?

Norma baru yang diatur dalam putusan MK ini tidak hanya menekankan larangan keterlibatan TNI-Polri dalam politik praktis, tetapi juga memperkenalkan ancaman pidana bagi pelanggarnya. Para pelanggar terancam hukuman penjara mulai dari satu bulan hingga enam bulan atau denda maksimal sebesar Rp6 juta.

"Setiap pejabat negara, anggota TNI/Polri, dan pejabat lainnya yang terbukti melanggar ketentuan terkait netralitas dalam pilkada dapat dikenakan sanksi pidana ini," tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan. Penambahan frasa TNI-Polri dalam undang-undang ini diharapkan dapat mengisi celah hukum yang selama ini kerap disalahgunakan oleh oknum aparat.

Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah ancaman sanksi ini benar-benar dapat menjadi solusi atas isu netralitas aparat di lapangan? Atau hanya menjadi peraturan yang sulit diterapkan, seperti halnya berbagai aturan sebelumnya?

TNI-Polri dan Realitas Netralitas yang Masih Dipertanyakan

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyatakan bahwa keputusan ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam menjaga netralitas aparat. "Sejak awal, UU TNI dan UU Polri sudah mengatur larangan keterlibatan dalam politik praktis, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa netralitas ini sering dilanggar," ujarnya. Bambang melihat putusan MK sebagai langkah pengulangan karena ketidakmampuan regulasi sebelumnya untuk mengatasi persoalan.

Pilkada 2020 menjadi contoh nyata di mana netralitas aparat dipertanyakan. Data dari Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat 2.304 kasus pelanggaran netralitas oleh aparat negara di 270 daerah. Fakta ini memperlihatkan bahwa imbauan netralitas yang sering disuarakan oleh pimpinan TNI dan Polri belum mampu mengekang aksi cawe-cawe para oknum di tingkat lokal.

Respons Bawaslu dan Langkah Lanjut

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyambut positif putusan MK dan menyatakan akan segera berkoordinasi dengan pihak TNI dan Polri. Bagja mengakui bahwa meskipun sebelumnya Bawaslu telah mengirimkan surat imbauan kepada kedua institusi tersebut, belum ada regulasi pidana yang bisa menindak pelanggaran netralitas secara tegas.

"Kami akan mengirim surat resmi minggu ini sebagai tindak lanjut dari putusan MK. Ini adalah langkah awal untuk memastikan netralitas TNI-Polri selama pilkada," ujar Bagja. Namun, ia juga mengakui perlunya aturan turunan yang jelas untuk menerapkan sanksi pidana yang telah diatur MK.

Komitmen Polri: Antara Janji dan Realita

Menanggapi keputusan MK, Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas), Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan komitmen untuk menjaga netralitas selama Pilkada 2024. Trunoyudo menegaskan bahwa Telegram Rahasia (TR) sudah dikirimkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk peringatan kepada jajarannya agar tidak terlibat dalam politik praktis.

"Jika ditemukan anggota Polri yang melanggar, maka akan ditindak tegas sesuai ketentuan," kata Trunoyudo. Namun, pernyataan ini belum cukup meyakinkan bagi sebagian pihak yang menganggap bahwa sikap netral aparat hanya sebatas formalitas tanpa penerapan yang nyata di lapangan.

Keraguan terhadap Efektivitas Putusan MK

Meskipun putusan ini dianggap progresif, sejumlah pihak menyatakan kekhawatiran mengenai efektivitasnya. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, menilai MK telah melampaui kewenangannya dengan memasukkan aturan pemidanaan dalam putusan. Menurutnya, perubahan undang-undang terkait sanksi pidana seharusnya menjadi wewenang DPR dan pemerintah.

“Saya terkejut dengan substansi putusan MK ini, karena penambahan norma pemidanaan bukan merupakan tugas lembaga yudikatif,” kata Irawan. Ia berpendapat bahwa pelanggaran netralitas lebih efektif ditangani melalui sanksi administratif, seperti pemecatan atau pembatalan keikutsertaan dalam pemilu, daripada menggunakan ancaman pidana.

Tantangan Implementasi: Antara Pepesan Kosong dan Harapan

Bambang Rukminto mengingatkan bahwa meskipun putusan MK setara dengan undang-undang, lembaga tersebut tidak memiliki mekanisme eksekusi untuk menegakkan sanksinya. "Apakah MK punya alat pemaksa? Tidak. MK hanya bisa mengarahkan perintah melalui kepala negara atau presiden," ungkap Bambang. Ia menekankan pentingnya komitmen dari presiden serta pimpinan TNI dan Polri untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan ini.

Menurutnya, tanpa dukungan penuh dari kepala negara dan pimpinan tertinggi aparat, putusan MK hanya akan menjadi pepesan kosong. "Hanya presiden yang bisa memastikan aturan ini ditaati. Jika tidak, maka parlemen harus berperan melalui pengawasan ketat hingga impeachment jika diperlukan," kata Bambang.

Langkah Maju atau Sekadar Formalitas?

Putusan Mahkamah Konstitusi yang memasukkan larangan eksplisit bagi TNI dan Polri dalam politik praktis serta memperkenalkan sanksi pidana bagi pelanggar adalah langkah penting dalam memperkuat netralitas aparat. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi eksekusi dari seluruh pihak terkait, mulai dari lembaga penegak hukum hingga pemerintah pusat.

Hingga kini, respon dari institusi TNI masih belum terdengar. Dalam suasana politik yang semakin memanas menjelang Pemilu 2024, perhatian publik akan tertuju pada bagaimana peraturan ini diterapkan di lapangan. Apakah langkah progresif ini mampu menekan politisasi aparat, atau hanya menjadi sekadar omong kosong yang berulang setiap kali musim pemilu tiba? Waktu yang akan menjawab.

(Mond)

#MahkamahKonstitusi #TNI #Polri #Nasional