Tiga Siswa TK Darul Fiqri Dikeluarkan karena Pilihan Politik Orang Tua di Pilkada 2024
D'On, Rembang, Jawa Tengah – Sebuah insiden yang mengundang perhatian publik terjadi di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang. Tiga siswa dari Taman Kanak-Kanak (TK) Darul Fiqri harus menerima kenyataan pahit dikeluarkan dari sekolah mereka. Bukan karena masalah akademik atau kedisiplinan, melainkan karena perbedaan pilihan politik orang tua mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Kasus ini mencuat setelah pihak yayasan sekolah diketahui menginstruksikan para wali murid untuk mendukung salah satu pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati, yakni Harno-Gus Hanies, yang tercatat sebagai paslon nomor urut 2. Ketegangan memuncak pada Jumat (22/11/2024), ketika ketiga siswa, yakni Icha, Bian, dan Chaca, terpaksa belajar dari rumah karena orang tua mereka menolak mengikuti arahan politik dari sekolah.
Tekanan Politik Berujung Pemecatan Siswa
Ambarwati, salah satu orang tua dari siswa yang dikeluarkan, mengaku terkejut dan kecewa dengan perlakuan pihak sekolah. Ia menceritakan bahwa tekanan politik mulai dirasakan beberapa pekan sebelum insiden pemecatan anaknya.
“Kami didatangi oleh tiga orang dari pihak sekolah, yaitu Pak Joko Suryanto, Bu Umi, dan Bu Ima. Mereka meminta saya dan suami untuk memilih paslon nomor 2 dalam Pilkada,” ujar Ambarwati saat ditemui di kediamannya. “Mereka bilang, kalau kami tidak mendukung, anak kami harus dikeluarkan dari sekolah.”
Mencoba mencari solusi, Ambarwati dan suaminya berusaha menawarkan kompromi dengan membagi suara. Namun, upaya tersebut tidak diterima oleh pihak sekolah.
“Saya bahkan bilang kalau saya dan suami bisa memilih berbeda, tapi mereka tetap menolak. Mereka bilang anak saya tidak bisa sekolah lagi setelah hari Jumat,” tambahnya dengan nada kecewa.
Cerita serupa juga datang dari Jamilah, orang tua Chaca. Ia menyebut bahwa dirinya ditelepon langsung oleh pihak sekolah untuk memastikan dukungannya kepada paslon tertentu.
“Saya ditelepon dan diminta memilih paslon nomor 2 agar anak saya tetap bisa bersekolah. Saya menolak, dan akhirnya mereka menyuruh saya untuk mencari sekolah lain,” ungkap Jamilah.
Keheningan Pihak Sekolah
Kasus ini memicu kemarahan dan simpati masyarakat luas, terutama karena melibatkan anak-anak yang tidak tahu menahu soal politik. Namun, ketika media mencoba meminta klarifikasi, pihak TK Darul Fiqri justru memilih bungkam. Kepala sekolah hanya menyarankan agar klarifikasi dilakukan langsung di lokasi. Anehnya, saat sejumlah wartawan mendatangi sekolah tersebut, tidak ada aktivitas apapun yang terlihat, dan upaya menghubungi pihak terkait pun tak membuahkan hasil.
Mengguncang Nilai Pendidikan
Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang profesionalitas institusi pendidikan dan batas campur tangan politik dalam kehidupan pribadi masyarakat. Para pengamat pendidikan menilai bahwa kasus ini mencoreng esensi pendidikan sebagai ruang untuk mendidik generasi muda tanpa diskriminasi.
“Ini benar-benar mencederai dunia pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi tempat netral, jauh dari urusan politik praktis,” ujar Nur Hidayat, seorang aktivis pendidikan dari Rembang. “Mengorbankan hak anak-anak untuk belajar demi kepentingan politik tertentu adalah pelanggaran serius.”
Respons Masyarakat dan Otoritas
Kasus ini kini menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Banyak warga Rembang yang mengutuk tindakan sekolah tersebut. Beberapa pihak bahkan mendesak pemerintah daerah dan otoritas pendidikan untuk segera turun tangan.
“Saya berharap Dinas Pendidikan segera menyelidiki kasus ini. Jangan sampai ada anak-anak lain yang menjadi korban politik,” kata Sugeng Raharjo, salah satu warga setempat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak yayasan atau kandidat paslon yang disebut terlibat dalam kasus ini. Namun, desakan masyarakat agar kasus ini diusut tuntas terus menguat.
Hak Anak di Tengah Kepentingan Politik
Peristiwa di TK Darul Fiqri mengingatkan pentingnya menjaga hak anak dari pengaruh kepentingan politik. Ketika institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak, justru melibatkan diri dalam persaingan politik, dampaknya bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan.
Kasus ini tidak hanya melibatkan tiga anak, tetapi menjadi simbol pelanggaran prinsip netralitas pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi. Masyarakat kini menanti tindakan tegas dari pihak berwenang untuk memastikan insiden serupa tidak terulang kembali.
(Mond)
#Politik #Netralitas #Peristiwa