Batu Batikam: Jejak Perdamaian Abadi di Tanah Minangkabau
Batu Batikam
D'On, Sumatera Barat - Di sebuah sudut kecil yang tenang di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, berdiri sebuah peninggalan sejarah yang tak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga menyiratkan pesan perdamaian yang abadi. Batu Batikam, begitu masyarakat menyebutnya, adalah saksi bisu perjalanan Kerajaan Minangkabau di zaman Neolitikum. Nama ini, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, berarti “batu yang tertusuk,” sebuah simbol yang tak hanya menggambarkan fisiknya tetapi juga sarat makna filosofis.
Bentuk Fisik dan Fungsi Batu Batikam
Batu Batikam tidaklah berukuran besar. Dengan dimensi 55x20x40 cm dan bentuk menyerupai segitiga, batu ini mungkin tampak biasa bagi mereka yang sekadar melintas. Namun, keistimewaannya terletak pada lubang yang menembus bagian tengah batu, konon bekas tikaman keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang dalam peristiwa bersejarah yang begitu berpengaruh.
Berdiri di atas situs seluas 1.800 meter persegi, Batu Batikam dahulu memiliki fungsi yang jauh lebih besar daripada sekadar benda cagar budaya. Situs ini merupakan medan nan bapaneh, sebuah tempat musyawarah bagi para kepala suku dan pemimpin adat. Di sini, keputusan-keputusan penting yang memengaruhi perjalanan masyarakat Minangkabau dibuat, menjadikan lokasi ini bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga pusat kebijaksanaan zaman dahulu.
Dua Saudara, Dua Jalan Berbeda
Cerita di balik Batu Batikam adalah kisah tentang dua tokoh besar Minangkabau: Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan. Mereka bukan hanya pemimpin, tetapi juga saudara yang berbagi garis keturunan yang unik. Meski lahir dari ibu yang sama, Puti Indo Jalito (dikenal juga sebagai Bundo Kanduang), darah ayah mereka berbeda.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang lahir dari seorang ayah yang dikenal sebagai aristokrat cerdik pandai, membawa semangat demokratis dalam setiap tindakannya. Baginya, masyarakat harus hidup dalam kesetaraan, sesuai dengan falsafah, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
Sebaliknya, Datuak Katumanggungan adalah putra dari seorang ayah berkarakter otoriter yang mempercayai sistem hirarki. Baginya, tatanan masyarakat harus terstruktur dengan jelas, sesuai falsafah, “berjenjang sama naik, bertangga sama turun.”
Dua visi ini, yang sama-sama kuat namun berlawanan, memicu perbedaan pandangan yang akhirnya menciptakan perselisihan di antara keduanya.
Perdamaian di Ujung Tikaman
Ketegangan antara kedua saudara ini memuncak hingga pada suatu ketika hampir berujung pada pertikaian fisik. Namun, kebijaksanaan mereka sebagai pemimpin dan rasa cinta terhadap tanah air mencegah hal itu terjadi. Sebagai gantinya, mereka menyalurkan emosi mereka dengan menikam sebuah batu menggunakan keris. Tikaman itu tidak hanya meredakan amarah, tetapi juga menjadi simbol kuat bahwa perselisihan dapat diselesaikan tanpa kekerasan.
Lubang pada Batu Batikam menjadi saksi dari momen penting itu. Lebih dari sekadar bekas tikaman, ia adalah lambang perdamaian yang menyatukan dua ideologi besar. Batu ini mengajarkan bahwa konflik dapat diselesaikan dengan dialog dan pengorbanan ego demi kepentingan bersama.
Pesan Abadi Batu Batikam
Hingga hari ini, Batu Batikam berdiri sebagai lambang harmoni yang tak lekang oleh waktu. Ia mengingatkan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk terpecah belah, melainkan kesempatan untuk saling melengkapi.
Bagi masyarakat Minangkabau, Batu Batikam bukan sekadar peninggalan sejarah. Ia adalah manifestasi dari falsafah hidup yang menjadi dasar adat Minangkabau, yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Dalam setiap goresan dan lubangnya, tersimpan pesan yang begitu relevan untuk masa kini: perdamaian adalah hasil dari pemahaman dan saling menghormati.
Ketika Anda mengunjungi Jorong Dusun Tuo, Batu Batikam mengundang Anda untuk merenungkan kisah-kisah ini. Ia berbicara tanpa kata, mengajarkan tanpa suara, dan menginspirasi tanpa memaksa. Dalam diamnya, Batu Batikam menjadi simbol kekuatan Minangkabau: bersatu dalam keberagaman, kokoh dalam perbedaan.
(Mond)
#BatuBatikam #SumateraBarat #Sejarah #SejarahMinangkabau