Daftar Barang dan Sektor Kena PPN 12 Persen: Kebijakan Baru Menyasar Konsumsi Masyarakat Kelas Atas
Menteri Keuangan Sri Mulyani
D'On, Jakarta – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan resmi menetapkan kebijakan terbaru terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kebijakan ini, yang berlaku mulai tahun 2025, menyoroti konsumsi barang dan jasa mewah yang selama ini dinikmati oleh masyarakat kelas atas, utamanya kelompok desil 9 dan 10, yakni segmen ekonomi tertinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan mengoreksi ketimpangan distribusi insentif pajak, yang selama ini justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan kaya. Dengan pendekatan yang lebih spesifik, pemerintah kini menegaskan bahwa pengecualian PPN hanya akan diberikan untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat umum. Sementara itu, barang mewah dan layanan premium akan dikenakan tarif PPN 12 persen.
Target Utama: Barang dan Jasa Mewah
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (16/12), Sri Mulyani mencontohkan beberapa kategori barang yang terkena PPN 12 persen, seperti daging premium, beras mahal, hingga layanan pendidikan elite. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan signifikan antara konsumsi masyarakat umum dan kelompok atas.
“Sebagai contoh, daging sapi wagyu atau kobe yang harganya bisa mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per kilogram, jelas ini bukan konsumsi masyarakat umum. Sementara itu, daging sapi biasa yang harganya berkisar antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per kilogram tetap tidak dikenakan PPN,” ujar Sri Mulyani.
Lebih lanjut, pemerintah mengidentifikasi kelompok jasa premium, seperti sekolah dengan biaya pendidikan hingga ratusan juta rupiah per tahun dan layanan kesehatan kelas atas, sebagai target dari kenaikan PPN ini. Bahkan pelanggan listrik rumah tangga dengan kapasitas 3.500 hingga 6.600 VA turut masuk dalam daftar yang dikenakan tarif pajak baru tersebut.
“Listrik, pendidikan, dan kesehatan yang sifatnya premium selama ini mendapat pembebasan PPN. Namun jika dilihat, yang menikmati fasilitas ini kebanyakan adalah kelompok ekonomi paling mampu. Karenanya, pemerintah mengambil langkah untuk memperjelas mana yang memang perlu dikecualikan dan mana yang harus dikenakan pajak,” tegas Sri Mulyani.
Dampak Kenaikan PPN: Layanan Digital hingga Hiburan Premium
Selain barang dan jasa konvensional, layanan digital seperti Netflix dan Spotify juga tidak luput dari kebijakan ini. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memastikan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku secara otomatis untuk layanan berlangganan digital yang populer di kalangan masyarakat perkotaan. Hal ini berarti, biaya langganan layanan streaming musik, video, atau platform serupa akan mengalami kenaikan harga.
“Iya, PPN naik menjadi 12 persen. Ini berlaku untuk Netflix, Spotify, dan layanan digital sejenis,” ungkap Suryo.
Dengan demikian, masyarakat perlu mempersiapkan diri untuk membayar lebih mahal dalam menikmati hiburan premium berbasis digital.
Barang dan Sektor yang Terdampak PPN 12 Persen
Berikut adalah daftar lengkap barang dan sektor yang akan dikenakan PPN 12 persen, terutama yang dikategorikan sebagai barang mewah atau layanan premium:
1. Barang Makanan Premium
Beras premium
Buah-buahan premium
Daging premium (contoh: wagyu, kobe)
Ikan premium (contoh: salmon, tuna)
Udang dan crustacea premium (contoh: king crab)
2. Jasa Pendidikan Premium
Sekolah dengan biaya pendidikan ratusan juta per tahun
3. Jasa Pelayanan Kesehatan Premium
Layanan medis eksklusif dengan tarif tinggi
4. Listrik Rumah Tangga Kapasitas 3.500 – 6.600 VA
Alasan Kenaikan PPN: Mengatasi Ketimpangan Ekonomi
Sri Mulyani memaparkan bahwa kebijakan ini sejalan dengan data konsumsi yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi insentif pajak. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, desil 10, atau kelompok ekonomi paling kaya, menikmati fasilitas pembebasan PPN senilai Rp 91,9 triliun. Sementara desil 9 menerima sekitar Rp 41,1 triliun.
“Setengah dari total insentif pembebasan PPN saat ini dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Hal ini tidak adil jika dibandingkan dengan kebutuhan insentif untuk kelompok bawah yang lebih membutuhkan,” jelas Sri Mulyani.
Pada tahun 2025, kebutuhan insentif PPN diprediksi mencapai Rp 265,6 triliun, sehingga kebijakan ini dinilai perlu untuk memastikan pendapatan negara dapat lebih optimal dan adil.
Reaksi dan Implikasi
Kebijakan kenaikan PPN ini diprediksi akan menuai berbagai respons dari masyarakat, khususnya kelompok ekonomi atas yang selama ini menikmati fasilitas bebas pajak. Di sisi lain, pemerintah berharap kebijakan ini mampu memperbaiki struktur pajak Indonesia dengan lebih adil dan tepat sasaran.
Selain itu, kenaikan tarif PPN juga diharapkan dapat mendorong pendapatan negara untuk mendukung program pembangunan nasional serta perlindungan bagi kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan.
Dengan demikian, kebijakan PPN 12 persen ini bukan hanya sekadar strategi peningkatan pendapatan negara, tetapi juga upaya menciptakan keadilan ekonomi di tengah tantangan ketimpangan sosial yang masih terjadi.
Melalui kebijakan ini, pemerintah menegaskan komitmennya dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Masyarakat, khususnya kelompok ekonomi atas, diharapkan dapat memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini. Sementara itu, barang kebutuhan pokok dan layanan umum yang digunakan mayoritas masyarakat tetap bebas dari beban PPN, demi menjaga daya beli dan kesejahteraan rakyat.
(Mond)
#PPN12Persen #PajakBarangMewah #Pajak #Nasional