Denda Damai Tak Berlaku untuk Kasus Korupsi: Kejaksaan Agung Tegaskan Batasan Hukum
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar
D'On, Jakarta – Diskusi seputar penerapan denda damai sebagai mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana kembali memicu perdebatan tajam. Pernyataan terbaru dari Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menegaskan bahwa denda damai tidak bisa diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor).
Harli mengacu pada Pasal 35 Ayat (1) Huruf K Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menggunakan denda damai dalam penyelesaian tindak pidana ekonomi yang merugikan perekonomian negara. Namun, Harli memperjelas bahwa korupsi tidak termasuk dalam kategori tindak pidana ekonomi yang dimaksud dalam aturan tersebut.
“Denda damai yang dimaksud dalam pasal tersebut diterapkan pada undang-undang sektoral yang merugikan perekonomian negara, seperti tindak pidana kepabeanan atau cukai. Namun, untuk tindak pidana korupsi, penyelesaiannya harus mengacu pada Undang-Undang Tipikor, yakni Pasal 2, Pasal 3, dan pasal-pasal lainnya,” kata Harli dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (27/12/2024).
Denda Damai dan Ruang Lingkupnya
Harli menjelaskan, denda damai adalah mekanisme penghentian perkara pidana di luar pengadilan dengan syarat pelaku membayar denda tertentu. Mekanisme ini hanya dapat diterapkan pada tindak pidana ekonomi, selama kerangka hukumnya memungkinkan. Namun, ia menegaskan bahwa tindak pidana korupsi tidak masuk dalam kategori ini, kecuali ada definisi hukum baru yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi.
“Secara teknis yuridis, tindak pidana korupsi tidak termasuk tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme denda damai sesuai Pasal 35 Ayat (1) Huruf K. Kecuali, ada perubahan definisi yang memperluas cakupan tindak pidana ekonomi sehingga mencakup korupsi,” imbuh Harli.
Pandangan Berbeda dari Menteri Hukum
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengemukakan pandangan berbeda. Dalam pernyataannya beberapa hari sebelumnya, Supratman menyebut bahwa denda damai dapat menjadi salah satu mekanisme penyelesaian bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi.
“Undang-Undang Kejaksaan RI yang baru memberi ruang bagi Jaksa Agung untuk menerapkan mekanisme denda damai, bahkan untuk kasus-kasus yang menyebabkan kerugian negara,” ujar Supratman dalam keterangannya, Selasa (24/12/2024).
Ia menjelaskan bahwa mekanisme denda damai memungkinkan penghentian perkara tanpa melalui pengadilan, dengan syarat pelaku membayar denda yang disetujui Jaksa Agung. Dalam pandangannya, mekanisme ini berpotensi diterapkan dalam kasus-kasus korupsi tertentu, meskipun tidak melibatkan pengampunan langsung dari Presiden.
“Tanpa melibatkan Presiden pun, pengampunan kepada pelaku korupsi dapat dilakukan melalui denda damai, selama hal tersebut sesuai dengan kerangka hukum yang diatur oleh Undang-Undang Kejaksaan RI,” tambah Supratman.
Dinamika Hukum dan Kritik Publik
Pernyataan dari kedua pihak ini mencerminkan perbedaan interpretasi terhadap ruang lingkup penggunaan denda damai. Meski Menteri Hukum memberikan sinyal bahwa korupsi dapat menjadi bagian dari mekanisme ini, pernyataan tegas dari Kejaksaan Agung menunjukkan adanya garis pembatas yang jelas.
Isu ini memicu kritik dari berbagai pihak, terutama dari aktivis antikorupsi. Mereka khawatir bahwa penerapan denda damai untuk kasus korupsi dapat melemahkan penegakan hukum dan memberikan celah bagi pelaku untuk menghindari sanksi pidana.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara dan masyarakat luas. Menyelesaikannya melalui denda damai hanya akan memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum,” ujar salah satu aktivis yang tidak ingin disebutkan namanya.
Polemik seputar denda damai ini menggambarkan tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam memberantas korupsi. Sementara Kejaksaan Agung menegaskan batasan hukum, pandangan dari pihak lain membuka ruang diskusi tentang reformasi hukum di masa depan.
Dalam konteks ini, keputusan untuk memperluas atau mempersempit cakupan denda damai harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan dampaknya terhadap sistem peradilan dan upaya pemberantasan korupsi yang tengah berjalan. Publik tentu berharap bahwa hukum tetap ditegakkan tanpa memberikan ruang bagi kompromi atas kejahatan luar biasa seperti korupsi.
(Mond)
#Kejagung #DendaDamai #Hukum #Nasional