Breaking News

Drama Hukum dan Korupsi PAW DPR: Kesaksian Donny Tri Istiqomah dan Kompleksitas Regulasi Pemilu

Donny Tri Istiqomah

D'On, Jakarta -
Suasana perpolitikan nasional kembali memanas ketika nama Donny Tri Istiqomah, seorang advokat sekaligus politisi PDI Perjuangan, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI. Donny, yang dikenal sebagai orang kepercayaan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, angkat bicara mengenai kasus ini. Ia menyebut ada kekosongan hukum yang menjadi akar masalah, yang kemudian memicu kontroversi hingga berujung tindak pidana.

Kekosongan Hukum dalam Aturan PAW DPR

Dalam sebuah video di kanal YouTube miliknya, Donny Tri Istiqomah membahas panjang lebar isu PAW yang melibatkan Harun Masiku, tersangka utama dalam kasus ini. Donny menyatakan bahwa ketentuan terkait PAW sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU. Namun, terdapat celah hukum yang tidak diakomodasi oleh regulasi, terutama terkait situasi di mana seorang calon legislatif meninggal dunia sebelum pemilihan.

"PAW ini sejatinya jelas aturannya. Caleg yang terpilih dapat digantikan jika meninggal dunia, mengundurkan diri, atau dipecat dari partai politik. Tapi, dalam kasus ini, ada celah hukum yang tak diatur, khususnya ketika seorang caleg meninggal dunia sebelum pemilihan berlangsung," ungkap Donny.

Harun Masiku menggantikan Nazaruddin Kiemas, calon dari PDIP yang wafat sebelum pemilu 2019. Namun, regulasi yang ada tidak mengakomodasi situasi seperti ini. Menurut Donny, kondisi ini menciptakan dilema hukum yang mendorong PDIP untuk mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung (MA).

Fatwa MA yang Ditolak KPU

Fatwa yang dikeluarkan MA sempat menjadi harapan PDIP untuk menyelesaikan kekosongan hukum tersebut. Namun, harapan itu pupus ketika KPU tetap menolak fatwa tersebut dalam pleno mereka, dengan alasan adanya perbedaan tafsir. "Kami sudah menjelaskan bahwa putusan MA ini berlaku serta merta, namun KPU tetap menolak dengan alasan yang tidak sejalan dengan pandangan kami," ujar Donny.

Penolakan KPU atas fatwa tersebut, menurut Donny, membuka pintu bagi praktik suap yang mencoreng proses demokrasi. "Padahal, jika KPU menerima fatwa ini, permasalahan hukum tidak perlu berujung pada suap," tambahnya.

Korupsi PAW: Jaringan Suap di Balik Layar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa kasus ini tidak hanya melibatkan Harun Masiku dan Donny, tetapi juga nama-nama besar seperti Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP. Bersama-sama, mereka dituduh menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina. Suap tersebut dilakukan dalam dua tahap, dengan total SGD 57.350, guna memastikan Harun Masiku ditetapkan sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I.

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, memaparkan temuan penyidikan. "Suap ini dilakukan pada periode 16–23 Desember 2019. Donny Tri Istiqomah bersama Hasto Kristiyanto dan kawan-kawan memberikan sejumlah uang untuk memengaruhi penetapan caleg terpilih," ujarnya.

KPK kemudian menerbitkan Surat Perintah Penyidikan pada 23 Desember 2024, menandai langkah hukum lebih lanjut terhadap Donny dan pihak-pihak terkait.

Kesaksian Donny: Antara Pembelaan dan Kontroversi

Donny membela diri dengan menegaskan bahwa langkahnya dalam kasus ini didasari pada upaya memperbaiki demokrasi, bukan untuk melanggar hukum. Ia mengkritik KPU yang tidak mengakomodasi fatwa MA, sehingga membuka ruang bagi praktik yang tidak sehat. "Sayangnya, kebuntuan ini memicu tindakan yang salah. Ini harus menjadi pelajaran besar bagi semua pihak untuk menyelaraskan aturan pemilu dengan kebutuhan demokrasi," tegasnya.

Namun, kritik dan pembelaan Donny tidak mampu mengubah kenyataan bahwa ia kini berada dalam pusaran kasus korupsi besar. Publik kini menanti jalannya proses hukum yang melibatkan tokoh-tokoh politik besar, sekaligus menyoroti celah regulasi yang selama ini menjadi momok dalam sistem demokrasi Indonesia.

Refleksi atas Kasus PAW DPR

Kasus ini bukan hanya soal korupsi, tetapi juga menggambarkan kompleksitas hukum dan dinamika politik di Indonesia. Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh celah regulasi membuka ruang bagi praktik yang merugikan integritas demokrasi. Sementara itu, keterlibatan tokoh-tokoh besar semakin menunjukkan betapa rentannya sistem politik terhadap godaan kekuasaan dan uang.

Kini, publik tidak hanya menanti keadilan dalam kasus ini, tetapi juga berharap adanya reformasi mendalam terhadap regulasi pemilu agar peristiwa serupa tidak terulang kembali. Akankah kasus ini menjadi awal perubahan besar, atau hanya menjadi salah satu episode suram dalam sejarah politik Indonesia?

(VV)

#Hukum #KasusHarunMasiku #Suap