Duka Pengungsi Rohingya: Kapal Hampir Tenggelam, 116 Orang Terdampar di Aceh Timur
D'On, Aceh Timur - Sebuah perjalanan penuh harapan berubah menjadi perjuangan hidup dan mati bagi 116 imigran etnis Rohingya. Setelah kapal motor yang mereka tumpangi mengalami kerusakan parah dan hampir tenggelam, mereka akhirnya terdampar di Kuala Ujung Perling, sebuah lokasi terpencil di Desa Paya Peulawi, Kecamatan Bireuem Bayeun, Kabupaten Aceh Timur.
Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB ketika mereka diselamatkan oleh nelayan setempat pada Sabtu (30/11). Di tengah gelap gulita malam dan gelombang laut yang ganas, para nelayan mempertaruhkan nyawa untuk mengevakuasi penumpang kapal yang berada dalam kondisi kritis.
Menurut Syamsul Bahri, Kepala Bidang Politik, Pemerintahan, dan Keamanan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Aceh Timur, kelompok pengungsi ini terdiri dari 32 pria dewasa, 46 perempuan dewasa, serta 38 anak-anak—15 laki-laki dan 23 perempuan. “Mereka kini sedang menjalani proses pendataan oleh petugas,” ungkap Syamsul dalam keterangannya, Minggu (1/12).
Kuala Ujung Perling, tempat mereka terdampar, adalah daerah terpencil yang hanya bisa dijangkau setelah tiga jam perjalanan menggunakan kapal nelayan dari Desa Paya Peulawi. Para pengungsi kini berada dalam kondisi fisik dan mental yang lemah setelah menghadapi ancaman tenggelam di lautan.
Luka Lama dan Perjuangan Tak Berujung
Kisah ini menambah deretan panjang penderitaan etnis Rohingya, minoritas tanpa negara yang terusir dari tanah kelahiran mereka di Myanmar akibat konflik etnis dan pelanggaran HAM. Perjalanan ini adalah salah satu upaya mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik, meski harus menghadapi maut di laut lepas.
Kondisi yang dialami para pengungsi ini bukan pertama kalinya terjadi di Aceh Timur. Sebelumnya, sebanyak 230 imigran Rohingya mendarat di wilayah ini pada awal Februari dan akhir Oktober 2024. Namun, menurut laporan Syamsul, kini hanya tersisa 47 orang dari kelompok tersebut yang masih berada di penampungan. Sebanyak 173 orang lainnya melarikan diri, dan 10 lainnya telah dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Pidie.
“Kami terus berupaya memberikan perlindungan terbaik, tetapi fasilitas di sini sangat terbatas. Mereka tinggal di penampungan sementara yang berupa lapangan terbuka,” kata Syamsul.
Peran dan Tantangan Lembaga Kemanusiaan
Dalam menghadapi krisis ini, sejumlah lembaga internasional seperti UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi) dan IOM (Organisasi Migrasi Internasional) turut andil. UNHCR bertugas menjaga keamanan para pengungsi, sementara IOM menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan.
Namun, Syamsul menegaskan bahwa penanganan saat ini belum memadai. “Kami sangat berharap para pengungsi ini dapat segera dipindahkan ke tempat yang lebih representatif. Kondisi di sini jauh dari layak untuk manusia, apalagi mereka telah melalui trauma yang berat,” ujarnya.
Panggilan untuk Solidaritas
Kisah para pengungsi Rohingya ini bukan hanya tentang penderitaan mereka, tetapi juga tentang kemanusiaan kita. Aceh, yang telah dikenal sebagai wilayah ramah pengungsi sejak gelombang pertama kedatangan Rohingya beberapa tahun lalu, kini menghadapi tantangan baru untuk menyediakan tempat tinggal yang layak, serta melindungi hak asasi mereka.
Di tengah kompleksitas situasi geopolitik dan keterbatasan fasilitas, nasib para pengungsi ini menjadi pengingat bahwa di balik statistik, ada manusia-manusia yang bertarung melawan penindasan dan ketidakadilan. Perjalanan mereka adalah seruan mendesak bagi dunia untuk memperhatikan krisis kemanusiaan ini dengan hati yang terbuka dan tindakan nyata.
Malam itu, meski selamat dari lautan, masa depan mereka tetap diliputi ketidakpastian. Harapan mereka, yang tersisa di kapal hampir tenggelam itu, kini bergantung pada solidaritas dunia.
(Mond)
#PengungsiRohingya #Peristiwa #AcehTimur