Gerindra Dorong Kepala Daerah Dipilih DPRD: Menjawab Tantangan Demokrasi Mahal di 2025
Ketua MPR Ahmad Muzani usai menghadiri acara ICMI di Bogor, Minggu (15/12/2024)
D'On, Bogor – Partai Gerindra kembali menggulirkan gagasan kontroversial soal mekanisme pemilihan kepala daerah. Ketua Umum sekaligus Presiden RI, Prabowo Subianto, mengusulkan agar kepala daerah—gubernur, wali kota, hingga bupati—tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Usulan ini tak datang tiba-tiba; menurut Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, gagasan ini sudah pernah diajukan sebelumnya namun kandas di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014.
“Dari awal, ini sebenarnya sesuatu yang pernah kita jalankan. Bahkan, sudah diputuskan pada 2014. Namun, waktu itu kita kalah di MK,” kata Muzani saat ditemui dalam acara ICMI di Bogor, Minggu (15/12). Kini, dengan semakin mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada dan rendahnya partisipasi pemilih, usulan ini kembali naik ke permukaan, menjadi wacana yang serius untuk dikaji.
Biaya Pilkada Mahal, Demokrasi Jadi Beban Ekonomi
Muzani mengungkapkan, salah satu alasan utama di balik usulan ini adalah tingginya biaya Pilkada. Menurutnya, baik calon yang menang maupun kalah, hampir semuanya mengeluhkan beban finansial yang luar biasa besar. Biaya ini tak hanya mencakup logistik kampanye, tetapi juga potensi pengeluaran untuk membangun jaringan politik yang kompetitif.
“Nah, dalam kasus Pilkada kemarin, hampir semua peserta mengatakan mahal, baik yang menang maupun yang kalah. Demokrasi kita jadi terlalu mahal. Padahal, ujung dari demokrasi itu adalah pengabdian, yaitu memberi kerelaan untuk mengabdi kepada rakyat dan bangsa,” ujar Muzani.
Ia menambahkan, mahalnya biaya Pilkada ini memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi justru menjadi beban ekonomi yang tak seharusnya terjadi. Dalam konteks itulah, Prabowo Subianto menggagas agar mekanisme pemilihan melalui DPRD dipertimbangkan sebagai solusi.
Partisipasi Pemilih yang Rendah: Isu Demokrasi Lain
Selain soal biaya, rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada juga menjadi perhatian. Muzani mencatat, rata-rata tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 60 persen. Angka ini dianggap tidak ideal untuk menggambarkan keterlibatan rakyat dalam proses demokrasi.
“Partisipasi rendah ini menjadi salah satu alasan kenapa gagasan ini layak dikaji. Kalau Pilkada mahal, partisipasi rendah, dan menjadi beban ekonomi tinggi, tentu kita harus mencari jalan keluar,” jelas Muzani.
Rencana Kajian di DPR pada 2025
Gagasan ini, menurut Muzani, tidak akan terburu-buru diimplementasikan. Ia menegaskan bahwa Ketua MPR akan meminta DPR untuk mengkaji mekanisme ini secara mendalam mulai tahun depan. Kajian tersebut akan melibatkan berbagai ahli dan mempertimbangkan semua aspek, termasuk dampak sosial dan politik.
“Setelah gubernur, wali kota, dan bupati dilantik dari Pilkada yang baru selesai ini, kami akan meminta dilakukan kajian-kajian lebih dulu di DPR, dan itu bisa dimulai pada 2025,” kata Muzani.
Jika mayoritas fraksi di DPR sepakat dengan usulan ini, langkah berikutnya adalah mengubah Undang-Undang Pilkada. Muzani memastikan bahwa perubahan ini hanya akan berlaku untuk pemilihan kepala daerah, sementara pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
“Kalau Pilkada dipilih DPRD, maka yang diubah adalah Undang-Undang Pilkada, yaitu tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Tapi untuk Pilpres, undang-undangnya tetap harus dipilih langsung oleh rakyat,” tegasnya.
Solusi atau Kemunduran Demokrasi?
Usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, mekanisme ini diharapkan mampu menekan biaya demokrasi yang dianggap terlalu mahal. Namun di sisi lain, skeptisisme muncul terkait potensi melemahnya prinsip demokrasi langsung. Kritikus mengkhawatirkan bahwa pemilihan lewat DPRD dapat membuka celah lebih besar untuk intervensi politik atau transaksi kepentingan, sehingga melemahkan akuntabilitas kepala daerah terhadap rakyat.
Gerindra dan pendukung usulan ini menyatakan bahwa perubahan ini tidak akan mengurangi esensi demokrasi, karena anggota DPRD tetap dipilih langsung oleh rakyat. Namun, apakah mekanisme ini benar-benar solusi untuk demokrasi yang efisien, atau justru langkah mundur bagi bangsa? Jawabannya akan menjadi perdebatan hangat di tahun-tahun mendatang.
Dengan 2025 sebagai target awal kajian, bola panas ini kini berada di tangan DPR dan masyarakat luas untuk menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.
(Mond)
#Politik #Gerindra #Nasional #AhmadMuzani #KepalaDaerahDipilihDPRD