Jejak Buronan Pabrik Narkoba di Bali: Roman Nazarenco dan Pelariannya ke Thailand
D'On, Bali, Indonesia – Sebuah drama kriminal kelas internasional tersingkap ketika kepolisian Indonesia mengungkap alasan di balik pelarian Roman Nazarenco, buronan yang mengendalikan pabrik narkoba di sebuah vila mewah kawasan Badung, Bali. Roman, yang selama ini menjadi buruan utama, diketahui telah melarikan diri ke Thailand dan tinggal di sana selama 109 hari.
Brigjen Mukti Juharsa, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, mengungkapkan bahwa Thailand sering menjadi tujuan favorit para pelaku kejahatan narkoba internasional. “Thailand mungkin bisa dibilang surganya para pelarian narkotika,” ungkapnya dalam konferensi pers yang digelar pada Minggu (22/12).
Pernyataan Mukti ini menggarisbawahi realitas gelap jaringan narkotika internasional yang menjadikan Thailand sebagai tempat persembunyian yang strategis. Ia menambahkan bahwa beberapa buronan besar lainnya, termasuk gembong narkoba terkenal Fredy Pratama, juga diketahui bersembunyi di Negeri Gajah Putih itu.
Upaya Penangkapan Internasional
Kepolisian Indonesia kini mengintensifkan kerja sama dengan Divisi Hubungan Internasional Polri (Hubinter) untuk mempersempit ruang gerak para buronan. “Banyak DPO (Daftar Pencarian Orang) kita yang masih berada di Thailand,” kata Mukti. “Dengan bantuan dari Hubinter, kami berharap bisa melanjutkan penangkapan para buronan ini, termasuk Roman.”
Langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk tidak memberi ruang bagi jaringan kejahatan narkoba yang mengancam masyarakat.
Pabrik Narkoba Mewah di Bali
Roman Nazarenco bukan sekadar buronan biasa. Ia merupakan otak di balik operasional sebuah pabrik narkoba yang berlokasi di salah satu vila mewah di Badung, Bali. Dari lokasi tersebut, polisi berhasil menyita barang bukti mencengangkan, antara lain:
Ganja hidroponik seberat 9.799 gram,
Mephedrone sebanyak 437 gram,
Berbagai peralatan produksi, termasuk perangkat hidroponik dan alat pembuatan mephedrone,
Prekursor narkotika dalam bentuk cair dan padat sekitar 454 liter.
Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi yang signifikan. Dalam satu siklus, pabrik ini mampu menghasilkan 10 kilogram ganja hidroponik dan 100 gram mephedrone dalam bentuk kristal maupun serbuk.
Jaringan Hydra Indonesia: Teknologi dalam Kejahatan
Yang membuat kasus ini semakin menarik adalah cara Roman memasarkan hasil produksinya. Jaringan narkotika yang dikendalikannya, Hydra Indonesia, memanfaatkan teknologi modern untuk menyamarkan aktivitas ilegalnya. Penjualan dilakukan melalui aplikasi Telegram, sebuah platform komunikasi yang dikenal memiliki sistem enkripsi kuat.
Tidak hanya itu, pembayaran dilakukan menggunakan mata uang kripto, sebuah metode yang membuat transaksi sulit dilacak. Dalam kurun waktu enam bulan beroperasi, pabrik narkoba ini diperkirakan telah menghasilkan keuntungan fantastis sebesar Rp 4 miliar dalam bentuk aset digital.
Kejahatan Terorganisasi yang Mengglobal
Kasus Roman Nazarenco menggambarkan wajah baru kejahatan narkotika: terorganisasi, canggih, dan lintas batas negara. Pelariannya ke Thailand bukan hanya untuk menghindari hukuman, tetapi juga menunjukkan kemampuan jaringan ini memanfaatkan celah hukum dan geografis.
Polisi kini menghadapi tantangan besar untuk tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga membongkar jaringan kriminal yang lebih luas. Dengan upaya kolaboratif antara kepolisian Indonesia dan otoritas internasional, diharapkan rantai kejahatan ini dapat segera diputuskan.
Namun, kasus ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat bahwa kejahatan narkotika terus berevolusi. Perang melawan narkoba bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga melibatkan langkah preventif dan edukasi yang masif.
Roman Nazarenco mungkin masih berada di Thailand, tetapi dengan kerja sama yang semakin erat antara negara, langkahnya semakin terbatas. Apakah ia akan berhasil ditangkap? Waktu yang akan menjawab.
(Mond)
#Narkoba #Bali #PabrikNarkoba #RomanNazarenco