Kasus Penodaan Agama oleh Ratu Entok: Kronologi, Dakwaan, dan Reaksi Publik
Ratu Entok saat menjalani sidang perdana di PN Medan, Senin (30/12/2024). Dok: ANTARA
D'On, Medan – Sebuah kasus kontroversial yang mengguncang masyarakat Sumatera Utara kembali menjadi sorotan publik. Irfan Satria Putra Lubis, yang dikenal dengan nama alias Ratu Thalisa atau Ratu Entok, didakwa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas dugaan ujaran kebencian dan penodaan agama melalui platform media sosial TikTok. Pria berusia 40 tahun ini kini menghadapi jeratan hukum berat yang dapat memengaruhi perjalanan hidupnya serta menggugah kembali perdebatan tentang batasan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pada Senin (30/12), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erning Kosasih membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Medan. Dalam dakwaan tersebut, Ratu Entok dituduh melanggar Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 156a KUHPidana terkait ujaran kebencian berbasis agama. Kasus ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, mengingat isu agama adalah salah satu topik paling sensitif di negeri ini.
Kontroversi Siaran Langsung di TikTok
Perkara ini bermula pada Rabu, 2 Oktober 2024, saat Ratu Entok melakukan siaran langsung melalui akun TikTok pribadinya. Dalam video tersebut, ia memperlihatkan foto Yesus Kristus—yang dihormati sebagai Tuhan oleh umat Kristiani—sambil melontarkan komentar yang dinilai melecehkan.
JPU Erning mengungkapkan detail pernyataan terdakwa dalam siaran itu:
"Hemmmmm…..biksu kali ah! Horgggg…..eh!!!! kau cukur, hei kau cukur rambut kau ya, jangan sampai kau menyerupai perempuan, kau cukur, dicukur biar jadi kayak bapak dia, dicukur, kalau laki-laki harus dicukur botak, dicukur, cepak, biar kayak ini kau, apa renaldo de capro, ya dicukur, cukur oii cukur, oi cukur."
Pernyataan ini tidak hanya dianggap menghina figur Yesus, tetapi juga menyinggung nilai-nilai agama Kristiani secara mendalam. Akibatnya, rekaman tersebut menyebar cepat di media sosial dan memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak.
Dampak Sosial dan Laporan ke Polisi
Komentar yang dilontarkan Ratu Entok dalam siaran langsungnya dinilai sebagai tindakan yang mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia. Jaksa menegaskan bahwa pernyataan tersebut membuat umat Kristiani merasa tersakiti dan marah.
"Atas postingan terdakwa, kegaduhan muncul di kalangan umat Kristen, bahkan berpotensi memecah persatuan, kesatuan, dan kerukunan umat beragama," ujar JPU Erning.
Protes besar-besaran muncul di berbagai daerah. Sejumlah tokoh agama dan masyarakat Kristen secara terbuka mengecam tindakan tersebut, menyebutnya sebagai bentuk pelecehan terhadap simbol agama yang suci. Tak lama kemudian, sejumlah pihak melaporkan tindakan Ratu Entok ke Polda Sumatera Utara pada 4 Oktober 2024, mendesak agar kasus ini segera diproses sesuai hukum.
Jalur Hukum dan Pembelaan Terdakwa
Dalam persidangan perdana, JPU menghadirkan bukti-bukti berupa rekaman video dan tangkapan layar yang diambil dari siaran langsung TikTok terdakwa. Bukti tersebut digunakan untuk memperkuat dakwaan bahwa Ratu Entok dengan sengaja menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan.
Namun, terdakwa tidak tinggal diam. Melalui penasihat hukumnya, ia menyatakan keberatan terhadap dakwaan tersebut dan berencana mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Sidang berikutnya dijadwalkan pada Kamis, 9 Januari 2025, dengan agenda pembacaan nota pembelaan.
Ketua Majelis Hakim Achmad Ukayat menegaskan bahwa persidangan ini akan berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sambil mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menghormati proses hukum.
Resonansi Kasus Ini di Masyarakat
Kasus ini kembali menegaskan betapa sensitifnya isu agama di Indonesia. Sebagai negara dengan masyarakat yang beragam, tindakan yang dianggap menodai agama tertentu sering kali memicu reaksi keras. Banyak pihak melihat kasus ini sebagai pengingat pentingnya menjaga tutur kata di ruang publik, terutama di era digital di mana informasi dapat menyebar dengan sangat cepat.
Namun, kasus ini juga memunculkan pertanyaan mendalam: sampai sejauh mana kebebasan berekspresi dapat diterima di Indonesia? Apakah kritik terhadap simbol agama, meskipun disampaikan dengan nada satir atau humor, selalu harus berujung pada proses hukum?
Di tengah pro-kontra, masyarakat Indonesia berharap kasus ini dapat diselesaikan secara adil, tanpa menimbulkan keretakan yang lebih besar dalam harmoni sosial. Semua mata kini tertuju pada persidangan berikutnya, yang diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keadilan bagi semua pihak.
(Mond)
#Hukum #RatuEntok #PenodaanAgama