Breaking News

Kontroversi Seni Yos Suprapto: Antara Ekspresi Jujur dan Tuduhan Pornografi

Seniman Yos Suprapto memberikan keterangan pers mengenai penundaan pameran tunggalnya, Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan, di Gedung YLBHI-LBH, Jakarta, Sabtu (21/12/2024).


D'On, Jakarta –
Seniman kenamaan Yos Suprapto tengah menghadapi polemik yang mengguncang dunia seni Indonesia. Lukisannya berjudul “Konoha”, yang direncanakan menjadi bagian dari pameran tunggal bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional, dituding mengandung unsur pornografi. Namun, Yos dengan tegas membantah tuduhan tersebut, menyebut karya seninya sebagai bentuk ekspresi kejujuran dan simbol kepolosan manusia.

"Lukisan Adalah Simbol Kepolosan"

Dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sabtu (21/12/2024), Yos menjelaskan filosofi di balik lukisannya. Ia menganggap penggambaran tubuh manusia telanjang sebagai representasi kejujuran dan kemurnian, yang sejalan dengan nilai-nilai seni rupa.

"Kita lahir itu polos, tanpa pakaian, tanpa atribut. Itu adalah simbol kepolosan, bukan sesuatu yang harus dianggap mesum," ujar Yos dengan tegas.

Yos pun menyayangkan sikap pemerintah, khususnya Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon, yang memerintahkan penurunan lukisan tersebut. Ia menilai tuduhan pornografi mencerminkan cara pandang sempit dan cenderung bias.

"Kalau itu dianggap mesum, berarti yang mengatakan itu mesum hanya berpikir sebatas itu saja. Ini bukan soal tubuh, ini soal kejujuran dalam seni," katanya.

Tuduhan Tanpa Bukti Langsung

Yos menuduh keputusan pemerintah sebagai tindakan gegabah. Ia menyebut Fadli Zon, sebagai Menteri Kebudayaan, tidak pernah melihat lukisannya secara langsung, melainkan hanya menerima laporan dari bawahannya.

"Bagaimana bisa seorang menteri membuat keputusan sepenting ini tanpa memeriksa langsung? Ini keputusan yang sembrono dan harus dipertanggungjawabkan," tegas Yos.

Hubungan dengan Kurator dan Galeri Nasional

Yos juga membantah klaim bahwa karyanya tidak sesuai dengan tema pameran. Menurutnya, ia telah berdiskusi secara intensif dengan kurator Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo, bahkan sebelum karya itu selesai.

"Suwarno datang tiga kali ke rumah saya untuk melihat karya ini. Kami berdiskusi panjang. Jadi, saya bingung ketika dikatakan karya ini vulgar atau tidak relevan," jelasnya.

Selain itu, Yos mengungkap bahwa dirinya memiliki hubungan baik dengan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, meski komunikasi terputus sejak Kementerian Kebudayaan menjadi lembaga independen di era Presiden Prabowo Subianto.

"Sampai sekarang, saya sulit menghubungi mereka. Tapi saya berharap ada dialog terbuka agar masalah ini selesai," tambahnya.

Yos juga meminta agar lukisannya yang kini terkunci di Galeri Nasional segera dibuka untuk publik. Jika tidak, ia berencana menempuh jalur hukum.

"Kalau masyarakat tidak bisa melihat karya saya, lebih baik kembalikan lukisan itu. Saya akan ambil langkah hukum jika ini terus berlanjut," ancamnya.

LBH Jakarta: Tindakan Pemerintah adalah Pelanggaran HAM

Mendukung Yos, LBH Jakarta mengecam tindakan pemerintah yang mereka anggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Alif Fauzi Nurwidiastomo, pengacara LBH Jakarta, menegaskan bahwa larangan pameran tersebut melanggar hak berekspresi yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional.

"Ekspresi seni adalah bagian dari hak asasi manusia. Apa yang dilakukan pemerintah ini adalah pemberangusan ekspresi yang sah," kata Alif.

Ia mengutip sejumlah pasal dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang mendukung kebebasan berekspresi.

LBH Jakarta juga menuntut Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut dan meminta pemerintah membuka kembali pameran tunggal Yos Suprapto.

"Kami mendesak Komnas HAM segera melakukan pemantauan dan penyelidikan atas tindakan ini. Pemerintah harus bertanggung jawab," tambah Alif.

Masa Depan Kebebasan Ekspresi di Indonesia

Kontroversi ini memicu diskusi lebih luas tentang kebebasan berekspresi dan batasan sensor di Indonesia. Banyak pihak, termasuk para seniman dan akademisi, mempertanyakan apakah tindakan pemerintah mencerminkan ketakutan terhadap seni yang kritis dan provokatif.

Bagi Yos, kasus ini bukan sekadar tentang karyanya, melainkan tentang keberlanjutan kebebasan seni di Indonesia.

"Ini bukan hanya soal saya. Ini soal kebebasan kita semua untuk berekspresi tanpa rasa takut," pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa seni, sebagai medium untuk menggambarkan kebenaran dan kejujuran, tetap berada dalam bayang-bayang otoritas yang sering kali menafsirkannya secara sempit. Apakah polemik ini akan membuka jalan dialog yang lebih terbuka atau menjadi preseden buruk bagi kebebasan seni di Tanah Air? Waktu yang akan menjawab.

(*)

#YosSuprapto #Lukisan #GaleriNasional #Viral #Kebudayaan