Breaking News

Mahfud MD Soroti Usulan Denda Damai untuk Koruptor: "Kalau Begitu, Tak Perlu Ada Hukum!"

Mantan Ketua MK Mahfud MD memberikan keterangan pers di MMD Initiative, Jakarta, Selasa (20/8/2024).


D'On, Jakarta –
Isu denda damai bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, menuai kontroversi tajam. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menegaskan bahwa konsep tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana, tetapi juga berpotensi merusak fondasi keadilan di Indonesia. Menurutnya, jika semua pelanggaran pidana bisa diselesaikan dengan denda, maka keberadaan hukum itu sendiri menjadi tidak relevan.

Mahfud menyampaikan kritik keras ini saat menanggapi pernyataan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas. Sebelumnya, Supratman menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, dapat diampuni melalui mekanisme denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan terbaru.

"Kalau semuanya bisa diselesaikan dengan perdamaian atau denda damai, ya sudah, tidak usah ada penjara, tidak usah ada hukum. Hukum itu untuk menegakkan keadilan, bukan melanggengkannya dengan uang," ujar Mahfud dalam podcast “Terus Terang” yang tayang di kanal YouTube-nya, Mahfud MD Official, pada Rabu (25/12/2024).

Hukum Pidana: Antara Negara dan Pelaku, Bukan Korban

Mahfud menjelaskan, dalam sistem hukum pidana, fokusnya bukan pada kerugian korban atau pihak yang dirugikan, melainkan pada pelanggaran terhadap negara dan masyarakat. Berbeda dengan hukum perdata yang memungkinkan penyelesaian damai antarindividu, hukum pidana menuntut pertanggungjawaban pelaku kepada negara.

"Inilah bedanya. Dalam pidana, pelanggaran itu terhadap negara, bukan hanya terhadap individu. Oleh karena itu, tidak ada prinsip perdamaian dalam pidana," tegasnya.

Dia juga menyinggung konsep restorative justice, yang menurutnya sering disalahpahami. Restorative justice dapat diterapkan untuk kasus-kasus kecil atau ringan, seperti perkelahian anak sekolah, tetapi tidak untuk kejahatan berat seperti korupsi, pembunuhan, atau perampokan.

"Korupsi itu kejahatan besar. Kalau semua bisa didamaikan, bayangkan kerusakan yang terjadi. Restorative justice itu bukan untuk hal-hal seperti ini," ujarnya dengan nada tegas.

Kritik terhadap Konsep Denda Damai

Dalam pernyataannya, Mahfud mengingatkan bahwa konsep denda damai bukanlah hal baru di masyarakat. Namun, ia menekankan bahwa hukum Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan yang seharusnya tidak dirusak oleh ide-ide yang kontraproduktif.

"Sejak dulu masyarakat kita mengenal sistem perdamaian. Tapi kita sudah berjuang keras membangun sistem hukum yang lebih maju dan berkeadilan. Jangan dirusak dengan aturan seperti ini," katanya.

Menurutnya, denda damai dalam kasus pidana berat seperti korupsi tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga memberi sinyal buruk bahwa kejahatan bisa ‘dibeli’.

Kontroversi Pernyataan Supratman Andi Agtas

Pernyataan Supratman Andi Agtas yang menjadi sorotan ini muncul dalam sebuah keterangan tertulis pada Selasa (24/12/2024). Dalam keterangannya, Supratman menyebut bahwa Undang-Undang Kejaksaan yang baru memungkinkan Kejaksaan Agung untuk memberikan denda damai kepada pelaku tindak pidana, termasuk koruptor.

“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan [memberikan pengampunan kepada koruptor] karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan denda damai,” kata Supratman.

Ia menjelaskan bahwa denda damai adalah mekanisme penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar sejumlah denda yang disepakati oleh Jaksa Agung. Denda ini, katanya, dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.

Namun, Supratman mengakui bahwa implementasi denda damai masih memerlukan peraturan turunan berupa peraturan Jaksa Agung.

Tanggapan Publik: Ancaman terhadap Integritas Hukum

Pernyataan Supratman dan kritik Mahfud MD telah memicu perdebatan luas di tengah masyarakat. Banyak pihak menganggap bahwa usulan denda damai, khususnya untuk koruptor, adalah langkah mundur dalam penegakan hukum di Indonesia.

"Apa gunanya reformasi hukum jika korupsi, kejahatan yang telah merugikan negara triliunan rupiah, justru bisa diselesaikan dengan denda? Ini seperti melegalkan kejahatan selama pelaku punya uang," ujar seorang pengamat hukum yang enggan disebutkan namanya.

Mahfud MD menutup pernyataannya dengan seruan agar pemerintah dan para pemangku kepentingan menjaga kredibilitas hukum di Indonesia. "Hukum adalah instrumen keadilan, bukan alat tukar. Kita harus melawan setiap upaya yang melemahkan hukum kita," pungkasnya.

Menjaga Martabat Penegakan Hukum

Kontroversi ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan cerminan nilai dan integritas sebuah bangsa. Ketika uang menjadi solusi untuk kejahatan besar, maka keadilan hanya menjadi ilusi.

(Mond)

#MahfudMD #Hukum #Nasional