Mengungkap Borok PPDS di Indonesia: Kajian KPK Bongkar Sistem Pendidikan yang Sarat Masalah
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti sistem pendidikan di Indonesia, kali ini melalui kajian mendalam terkait Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Dalam laporan berjudul Identifikasi Risiko Korupsi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia, KPK mengungkap berbagai praktik tidak sehat yang selama ini terjadi dalam sistem pendidikan dokter spesialis. Temuan-temuan ini mencakup praktik bullying, pungutan liar, hingga perlakuan istimewa bagi kerabat dosen. Berikut adalah detail temuan tersebut, sebagaimana dirangkum dari laporan KPK.
Bullying dan Senioritas: Biaya Tak Resmi Hingga Rp 25 Juta
Laporan KPK mengungkapkan adanya praktik senioritas dan bullying dalam lingkungan PPDS yang menciptakan tekanan finansial terhadap peserta. Biaya tambahan yang muncul akibat budaya ini mencapai angka fantastis—bahkan lebih dari Rp 25 juta. Fenomena ini berawal dari budaya favoritisme, diskriminasi, dan senioritas yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan PPDS.
"Perilaku favoritisme, senioritas, dan diskriminasi memberi dampak sistemik dalam memunculkan biaya tambahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel, mulai dari Rp 1 juta hingga lebih dari Rp 25 juta," ungkap laporan KPK.
Data ini berasal dari pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK. Banyak peserta PPDS mengaku terpaksa membayar biaya tambahan tersebut untuk dapat "bertahan" selama masa pendidikan mereka. Praktik semacam ini tidak hanya mencoreng profesionalisme pendidikan medis, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan dalam sistem.
Seleksi PPDS Sarat Pungli: Bukti Saldo Tabungan Jadi Syarat
Lebih mengejutkan lagi, laporan KPK mengungkapkan bahwa dalam proses seleksi PPDS, beberapa calon peserta diminta menunjukkan saldo tabungan mereka. Permintaan ini muncul saat tahap wawancara, yang seharusnya menilai kompetensi calon dokter spesialis, bukan kemampuan finansial mereka.
Dari survei yang dilakukan KPK terhadap 58 responden, sebanyak 6 orang mengaku memiliki saldo lebih dari Rp 500 juta, 4 orang memiliki saldo antara Rp 250-500 juta, sementara 19 orang memiliki saldo kurang dari Rp 100 juta. Sebanyak 18 responden lainnya memilih untuk tidak mengungkap jumlah saldo mereka.
“Praktik seperti ini tidak hanya tidak relevan dalam seleksi akademik, tetapi juga menunjukkan kecenderungan koruptif yang dapat merusak integritas sistem pendidikan medis,” tegas laporan tersebut.
Dana PPDS Digunakan untuk Touring hingga Hobi Dosen
Praktik pungutan liar dalam PPDS ternyata tidak berhenti di tahap seleksi. Uang yang dikumpulkan dari peserta PPDS sering kali digunakan untuk kepentingan pribadi dosen atau senior. Temuan KPK menunjukkan bahwa dana ini digunakan untuk berbagai kebutuhan, termasuk mendukung hobi dosen seperti touring motor dan sepeda.
“Beberapa peserta PPDS menyebutkan bahwa kebutuhan pribadi dosen, seperti diantar ke bandara, masih dianggap wajar. Namun, ketika dana digunakan untuk membiayai hobi seperti touring motor atau sepeda, ini sudah melampaui batas kewajaran,” jelas laporan tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, peserta PPDS biasanya bekerja sama dalam satu angkatan untuk mengumpulkan uang secara periodik. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu per bulan hingga jutaan rupiah per semester.
Perlakuan Istimewa untuk Kerabat Dosen
Masalah lain yang mencuat dari laporan KPK adalah perlakuan istimewa bagi peserta PPDS yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dosen. Survei menunjukkan bahwa sebanyak 37,09 persen responden di Sumatera mengaku pernah melihat atau mengalami praktik ini, sementara di Jawa, angkanya mencapai 22,08 persen.
Perlakuan istimewa ini sering kali terlihat dalam pengaturan jadwal atau kemudahan administrasi. Meski begitu, perlakuan tersebut tidak selalu berarti beban akademik lebih ringan bagi peserta bersangkutan. Namun, konflik kepentingan yang muncul dari praktik ini dinilai sangat merusak integritas sistem pendidikan.
“Perlakuan istimewa ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga berpotensi besar menimbulkan praktik koruptif dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia,” tegas laporan KPK.
Dampak Sistemik dan Perlunya Reformasi
Kajian KPK ini menggambarkan betapa bobroknya sistem PPDS di Indonesia. Dari senioritas yang melahirkan pungutan liar hingga konflik kepentingan dalam seleksi dan perlakuan istimewa, semua ini menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem pendidikan medis. Sistem yang seharusnya mencetak dokter spesialis berkualitas justru terjebak dalam praktik-praktik yang jauh dari nilai profesionalisme dan integritas.
Rekomendasi KPK untuk memperbaiki sistem ini mencakup penguatan regulasi, pengawasan ketat, serta penerapan transparansi dalam setiap tahapan pendidikan. Harapannya, reformasi ini dapat menghapus praktik-praktik koruptif yang telah menjadi bagian dari sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Saat ini, sorotan publik terhadap temuan KPK semakin meningkat. Kini tinggal menunggu, apakah pemerintah dan pihak terkait akan benar-benar mengambil langkah tegas untuk membenahi sistem yang selama ini terabaikan?
(Mond)
#PPDS #KPK #Korupsi #Nasional