Breaking News

Menteri Hukum Usulkan Denda Damai untuk Koruptor: Strategi Baru atau Kontroversi Lama?

Ilustrasi Koruptor 

D'On, Jakarta –
Pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum), Supratman Andi Agtas, mengenai opsi denda damai sebagai jalan pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, mengundang sorotan tajam. Dalam konteks ini, denda damai, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, menjadi instrumen baru yang dapat dimanfaatkan oleh Kejaksaan Agung untuk menghentikan kasus tertentu di luar jalur pengadilan. Namun, apakah ini langkah inovatif untuk mempercepat pemulihan ekonomi atau sekadar celah baru bagi pelaku korupsi untuk menghindari jerat hukum?

Landasan Hukum Denda Damai

Denda damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan RI, memberikan Jaksa Agung kewenangan untuk menangani tindak pidana yang merugikan perekonomian negara dengan opsi penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dalam penjelasan UU tersebut, denda damai dijelaskan sebagai mekanisme pembayaran denda oleh pelaku yang disetujui Jaksa Agung, tanpa perlu proses pengadilan.

Langkah ini, menurut pemerintah, merupakan bentuk penerapan asas oportunitas, terutama pada kasus tindak pidana ekonomi seperti perpajakan, kepabeanan, dan tindak pidana lain yang terkait dengan perekonomian negara. Tujuan utamanya adalah pemulihan kerugian negara secara cepat tanpa mengorbankan waktu dan biaya yang besar untuk proses hukum.

Namun, kritik langsung mencuat. Mekanisme ini dikhawatirkan menjadi celah bagi koruptor untuk membeli kebebasan, alih-alih menghadapi konsekuensi penuh dari tindakan mereka. Apalagi, tindak pidana korupsi di Indonesia sering kali berdampak luas, tidak hanya pada kerugian negara tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat.

Pernyataan Menkum: Solusi atau Polemik?

Dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Selasa (24/12), Supratman menyatakan bahwa UU Kejaksaan memberikan ruang untuk penerapan denda damai sebagai alternatif pengampunan bagi koruptor, terlepas dari mekanisme pengampunan presiden. "Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu," ujarnya.

Meski demikian, Menkum menegaskan bahwa implementasi aturan ini masih menunggu regulasi turunan berupa peraturan Jaksa Agung. Pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa peraturan ini cukup diterbitkan di tingkat Jaksa Agung, tanpa memerlukan revisi undang-undang.

Di tengah kebijakan ini, Supratman juga menekankan pentingnya pemulihan aset negara sebagai prioritas dalam penanganan kasus korupsi. "Yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal, dibandingkan dari sekadar menghukum," ujarnya.

Pengampunan Koruptor: Hak Presiden, Beban Moral Bangsa

Sebagai bagian dari konstitusi, Presiden memiliki hak memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana. Namun, Menkum menegaskan bahwa hak tersebut tidak akan digunakan sembarangan. Pemerintah, katanya, berkomitmen untuk tetap menghukum pelaku korupsi semaksimal mungkin sambil memastikan pemulihan kerugian negara.

“Bukan berarti dalam rangka untuk membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak,” tegas Supratman. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah menunggu arahan Presiden Prabowo Subianto terkait implementasi lebih lanjut dari aturan ini.

Kontroversi dan Tantangan

Mekanisme denda damai ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi pendukungnya, denda damai dianggap sebagai solusi pragmatis untuk mengembalikan kerugian negara secara cepat, terutama dalam kasus ekonomi yang melibatkan angka besar. Namun, bagi para pengkritik, kebijakan ini mengancam integritas hukum. Mereka khawatir bahwa koruptor akan menganggap denda damai sebagai "tarif resmi" untuk membayar dosa mereka, mengikis efek jera dan memperkuat budaya impunitas.

Tidak dapat dipungkiri, korupsi adalah penyakit kronis yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Setiap kebijakan yang memberikan peluang bagi pelaku untuk menghindari hukuman akan selalu menuai pertanyaan besar: apakah ini langkah maju atau kemunduran dalam perang melawan korupsi?

Menanti Kejelasan

Di tengah polemik ini, masyarakat menunggu keputusan pemerintah terkait mekanisme denda damai ini. Apakah benar langkah ini mampu mempercepat pemulihan kerugian negara, atau justru memperburuk persepsi publik terhadap penegakan hukum? Yang jelas, keputusan ini akan menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam menjaga kepercayaan rakyat sekaligus membuktikan komitmennya dalam memerangi korupsi.

(Mond)

#Koruptor #Hukum #Nasional #Koruptor