Breaking News

MKD DPR Nyatakan Yulius Setiarto Melanggar Etik: Polemik TikTok dan Demokrasi

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Yulius Setiarto, hadir dalam sidang MKD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2024).


D'On, Jakarta –
Drama politik kembali mengguncang Kompleks Parlemen Senayan setelah Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI resmi menyatakan Yulius Setiarto, anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, melanggar kode etik. Keputusan ini diambil dalam sidang etik yang berlangsung secara tertutup pada Selasa (3/12/2024), namun hasilnya diumumkan secara terbuka. Sanksi yang dijatuhkan berupa teguran tertulis.

TikTok dan Kontroversi 'Parcok'

Kasus ini bermula dari unggahan video TikTok di akun pribadi Yulius, di mana ia mengangkat isu panas tentang dugaan keterlibatan institusi kepolisian—disebut dengan istilah “partai coklat” atau “parcok”—dalam Pilkada 2024. Video ini segera memicu perdebatan publik. Kritik dan dukungan datang silih berganti, mengubah unggahan sederhana menjadi polemik nasional yang melibatkan kehormatan institusi kepolisian dan etika anggota legislatif.

“Berdasarkan pertimbangan hukum dan etika, MKD memutuskan bahwa Teradu Yang Terhormat Yulius Setiarto, SH, MH, Nomor Anggota A234, Fraksi PDIP, terbukti melanggar kode etik. Sanksi yang diberikan berupa teguran tertulis,” tegas Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam dalam pembacaan putusan yang berlangsung di Senayan, Selasa (3/12/2024).

Sidang ini dihadiri para pimpinan dan anggota MKD, sementara pembacaan putusan dilakukan terbuka. Menurut Nazaruddin, keputusan ini bersifat final dan langsung mengikat sejak hari pembacaan.

Yulius: Antara Klarifikasi dan Kecintaan pada Polri

Dalam sidang, Yulius memberikan pembelaan panjang lebar. Ia menegaskan bahwa unggahan TikTok yang dibuat pada 25 November lalu adalah wujud kecintaannya terhadap Polri. Yulius mengaku unggahan itu bertujuan untuk meminta Kapolri menjaga integritas lembaga kepolisian serta martabat demokrasi.

“Sebagai wakil rakyat, saya merasa bertanggung jawab kepada masyarakat Indonesia, terutama konstituen di daerah pemilihan saya. Unggahan tersebut adalah cara saya menyuarakan aspirasi mereka,” ujar Yulius dengan penuh keyakinan.

Lebih lanjut, Yulius menjelaskan bahwa unggahan itu berangkat dari kekhawatiran terhadap pemberitaan salah satu media nasional, Tempo. Berita itu menyoroti temuan yang berpotensi mencoreng nama baik Polri. Ia mengingatkan bahwa tanpa klarifikasi resmi dari Kapolri, informasi tersebut bisa diterima masyarakat sebagai fakta, merusak kepercayaan terhadap salah satu institusi penting negara.

“Apa jadinya kalau Kapolri tidak segera melakukan klarifikasi atas pemberitaan media Tempo? Temuan-temuan itu akan dianggap kebenaran oleh publik. Ini sangat berbahaya bagi Polri, lembaga yang kita cintai dan harus kita jaga bersama,” tambah Yulius, dengan nada emosional.

MKD Juga Sidik Dua Kasus Lain

Kasus Yulius hanyalah salah satu dari beberapa agenda MKD hari itu. Dua anggota DPR lainnya juga turut dipanggil dalam sidang etik dengan aduan berbeda. Mereka adalah Nuroji, anggota Komisi X dari Fraksi Gerindra, serta Haryanto, anggota Komisi V dari Fraksi PDI Perjuangan.

Meski belum ada keterangan resmi terkait kasus yang melibatkan keduanya, sumber internal menyebut aduan mereka juga berkaitan dengan perilaku yang dianggap mencederai kode etik DPR.

Dinamika Baru dalam Etika Politik

Kasus ini menambah panjang daftar pelanggaran kode etik anggota DPR, sekaligus menjadi pengingat pentingnya menjaga kehormatan jabatan publik. Di era digital, di mana media sosial menjadi ruang komunikasi terbuka, batasan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab etis menjadi semakin kabur.

Keputusan MKD terhadap Yulius Setiarto menjadi preseden penting, tidak hanya untuk menjaga integritas DPR, tetapi juga untuk menegaskan bahwa platform media sosial tidak boleh menjadi alat yang merusak institusi negara. Di sisi lain, pembelaan Yulius membuka diskusi lebih luas: sejauh mana seorang wakil rakyat dapat menyuarakan kekhawatiran tanpa melanggar norma yang telah ditetapkan?

Dengan dinamika politik yang terus memanas menjelang Pilkada 2024, kasus ini mungkin hanya awal dari gelombang polemik yang lebih besar. Pertanyaannya adalah, bagaimana para pemimpin publik dapat menjalankan perannya di tengah tekanan etika dan ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi? Hanya waktu yang akan menjawab.

(Mond)

#MKD #DPR #YuliusSetiarto #Nasional