Pajak di Indonesia: Pungutan Tiada Akhir Sejak Zaman Baheula
Pasar Baru 1885-1900. (FOTO/Wikipedia/Collectie Tropen Museum)
Dirgantaraonline - Pajak, sebuah kata yang sering kali memancing beragam emosi di masyarakat Indonesia. Bagi sebagian besar, pajak dianggap beban; bagi pemerintah, pajak adalah nyawa pembangunan. Namun, tahukah Anda bahwa sistem perpajakan di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang, jauh sebelum republik ini berdiri? Pajak di Nusantara telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno, berkembang melalui kolonialisme, hingga menjadi sistem modern seperti yang kita kenal sekarang.
Pajak pada Zaman Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Tarumanagara, sistem pajak sudah diterapkan meski dalam bentuk yang berbeda dengan zaman modern. Pajak pada masa itu dikenal sebagai “upeti” atau “persembahan,” yang lebih merupakan bentuk kewajiban kepada penguasa daripada mekanisme resmi seperti sekarang.
Rakyat, terutama petani, diwajibkan memberikan hasil bumi seperti padi, rempah-rempah, atau barang kerajinan kepada kerajaan. Hasil bumi ini digunakan untuk membiayai pembangunan candi, istana, dan kebutuhan militer. Sebagai imbalannya, rakyat mendapatkan perlindungan dari ancaman musuh dan bencana. Di beberapa kerajaan, pajak juga diterapkan kepada pedagang sebagai biaya atas hak berdagang di wilayah tertentu.
Prasasti-prasasti kuno, seperti Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Ciaruteun, mencatat bagaimana penguasa memberlakukan pungutan ini sebagai bagian dari pengelolaan negara. Konsepnya sederhana: rakyat membayar kepada penguasa, dan penguasa memberikan keamanan serta pembangunan.
Sistem Pajak Era Kolonial: Eksploitasi Terstruktur
Ketika bangsa Eropa datang ke Nusantara, terutama Belanda, sistem perpajakan mengalami perubahan signifikan. Pajak tidak lagi bersifat lokal dan tradisional, tetapi diubah menjadi alat eksploitasi besar-besaran. Salah satu kebijakan paling terkenal adalah cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang diperkenalkan pada abad ke-19.
Dalam sistem ini, petani dipaksa menyerahkan sebagian besar tanah mereka untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan gula. Hasil panen kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial sebagai bentuk pajak. Sistem ini menimbulkan penderitaan besar bagi rakyat karena mereka kehilangan kemandirian atas tanah mereka sendiri.
Selain itu, pajak kepala (hoofdgeld) dan pajak rumah (huisgeld) juga diterapkan. Setiap individu dewasa wajib membayar pajak berdasarkan jumlah anggota keluarga dan properti yang dimiliki. Kebijakan ini, meskipun menyakitkan bagi rakyat, menjadi sumber pendapatan besar bagi pemerintah kolonial.
Masa Kemerdekaan: Pajak sebagai Tulang Punggung Negara
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem pajak mulai diadaptasi untuk mendukung pembangunan negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A menyebutkan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Pada awal kemerdekaan, sistem pajak masih sederhana dan banyak mengadopsi warisan kolonial. Pajak digunakan untuk membiayai perang kemerdekaan, merehabilitasi infrastruktur, dan mendukung pemerintahan baru. Namun, seiring waktu, pemerintah mulai merancang sistem pajak modern yang lebih sesuai dengan kebutuhan bangsa.
Pada tahun 1983, Indonesia memasuki era reformasi perpajakan besar-besaran. Pemerintah memperkenalkan berbagai undang-undang baru yang mengatur Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan pajak lainnya. Sistem self-assessment diperkenalkan, memberikan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung dan membayar pajaknya sendiri.
Reformasi perpajakan terus berlanjut hingga saat ini dengan penggunaan teknologi untuk mempermudah administrasi. E-filing, e-billing, dan e-Faktur adalah beberapa inovasi yang telah diterapkan untuk meningkatkan kepatuhan dan efisiensi.
Pajak di Era Modern: Antara Tantangan dan Harapan
Saat ini, pajak adalah tulang punggung pendapatan negara Indonesia. Pada tahun 2023, lebih dari 70% pendapatan negara berasal dari pajak. Namun, tantangan besar masih menghadang, terutama rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Menurut data Kementerian Keuangan, tingkat kepatuhan pajak Indonesia masih di bawah 80%, jauh lebih rendah dibandingkan negara maju.
Selain itu, isu pajak digital juga menjadi perhatian. Dengan meningkatnya transaksi digital dan e-commerce, pemerintah menghadapi tantangan untuk memastikan semua pelaku usaha digital membayar pajak secara adil.
Membangun Kesadaran Pajak
Pajak sering kali dianggap sebagai beban, tetapi pada kenyataannya, pajak adalah investasi masyarakat untuk masa depan. Jalan raya, sekolah, rumah sakit, hingga subsidi BBM dan listrik, semuanya berasal dari pajak yang kita bayarkan.
Untuk meningkatkan kesadaran, pemerintah dan masyarakat perlu membangun budaya pajak yang lebih baik. Transparansi dalam penggunaan dana pajak menjadi kunci utama. Ketika masyarakat melihat bahwa pajak digunakan secara efektif, kepercayaan akan tumbuh, dan kepatuhan pajak akan meningkat.
Perjalanan pajak di Indonesia adalah cerminan dari evolusi masyarakat itu sendiri. Dari sistem upeti zaman kerajaan, eksploitasi kolonial, hingga sistem modern yang kompleks, pajak selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bangsa.
Kini, tantangan bagi pemerintah adalah menciptakan sistem pajak yang lebih adil, transparan, dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Di sisi lain, sebagai warga negara, kita juga memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban pajak sebagai kontribusi nyata bagi pembangunan negeri.
Pajak bukan sekadar pungutan tiada akhir, tetapi fondasi bagi cita-cita besar bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang maju, adil, dan sejahtera.
(Mond)
#Pajak