Breaking News

PDIP-Gerindra Memanas: Adu Sindir soal Kenaikan PPN 12 Persen!

Ilustrasi Gedung DPR RI

D'On, Jakarta –
Atmosfer politik Tanah Air kembali memanas, kali ini dipicu oleh adu sindir antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Isu yang sejatinya bersifat teknokratis ini kini berubah menjadi bola panas di arena perpolitikan, melibatkan elite dari kedua partai besar tersebut.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, langsung menanggapi kritik yang dilontarkan oleh Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Wihadi Wiyanto, yang berasal dari Partai Gerindra. Dolfie menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menjadi dasar kenaikan PPN tersebut, merupakan inisiatif dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan telah disetujui oleh mayoritas fraksi di DPR RI, termasuk Gerindra.

Tarik-Menarik di Balik UU HPP

Dalam pernyataannya, Dolfie menguraikan kronologi pembentukan UU HPP. Undang-Undang ini diajukan sebagai inisiatif pemerintah Jokowi pada 5 Mei 2021 dan dibahas secara intensif bersama DPR RI di Komisi XI. Proses tersebut melibatkan delapan fraksi yang akhirnya menyetujui pengesahan UU ini dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 7 Oktober 2021. Fraksi-fraksi tersebut mencakup PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP, sementara hanya Fraksi PKS yang menyatakan penolakan.

Dolfie menjelaskan, UU HPP adalah omnibus law yang mencakup perubahan mendasar pada berbagai peraturan perpajakan, termasuk UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), UU PPh (Pajak Penghasilan), UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan UU Cukai. Selain itu, UU ini juga memperkenalkan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan kebijakan Pajak Karbon.

“Dalam UU HPP, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025 telah diatur dengan jelas. Namun, UU ini juga memberi pemerintah fleksibilitas untuk menyesuaikan tarif dalam rentang 5 persen hingga 15 persen, bergantung pada kondisi perekonomian nasional,” ujar Dolfie pada Minggu (22/12/2024).

Gerindra Balas Sindiran

Di sisi lain, Wihadi Wiyanto menuding bahwa kebijakan ini merupakan produk legislatif yang didominasi oleh PDIP. Ia menyebut, kenaikan PPN tersebut tak lepas dari peran PDIP sebagai partai penguasa pada periode 2019-2024.

“Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah hasil dari UU HPP yang disahkan pada 2021, saat PDIP memegang kendali di pemerintahan. PDIP harus bertanggung jawab atas implikasi kebijakan ini,” kata Wihadi dalam keterangannya.

Wihadi juga menekankan bahwa meskipun Gerindra turut menyetujui pembahasan UU HPP, implementasi kebijakan tersebut di masa pemerintahan baru harus mempertimbangkan kondisi terkini perekonomian rakyat.

Perspektif PDIP: Kenaikan Bukan Keputusan Final

Merespons tudingan tersebut, Dolfie menekankan bahwa meskipun tarif PPN 12 persen telah diatur dalam UU, keputusan final tetap berada di tangan pemerintahan yang sedang berkuasa. Pemerintah dapat menurunkan atau menaikkan tarif tersebut sesuai Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, dengan catatan mendapat persetujuan DPR.

“Tarif PPN sangat bergantung pada kondisi ekonomi nasional. Jika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk tetap menggunakan tarif 12 persen pada 2025, maka harus ada kajian mendalam terhadap kinerja ekonomi nasional, pertumbuhan yang berkualitas, dan daya beli masyarakat,” ujar Dolfie.

Ia juga mengingatkan pentingnya memastikan penciptaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan masyarakat, serta efektivitas belanja negara agar kebijakan tersebut tidak memberatkan rakyat.

Adu Strategi Menuju 2025

Perseteruan ini menunjukkan bahwa isu kenaikan PPN tidak hanya menjadi persoalan teknis fiskal, tetapi juga alat politik strategis. Dengan mendekati tahun 2025, wacana ini kemungkinan akan terus menjadi perdebatan sengit di antara partai-partai besar.

Sebagai catatan, kebijakan PPN yang progresif ini bertujuan untuk memperkuat basis penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang, serta menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, keberhasilannya sangat ditentukan oleh implementasi dan respons masyarakat terhadap kebijakan tersebut.

Apakah perseteruan ini akan mengarah pada solusi, atau justru memperuncing friksi antar partai politik? Waktu yang akan menjawabnya. Namun satu hal yang pasti, isu ini kini menjadi sorotan utama, baik di gedung parlemen maupun di mata publik.

(*)

#PPN12Persen #PDIP #Gerindra #Nasional #Politik