Penanganan Lamban Kasus Penganiayaan oleh Anak Pemilik Toko Roti: Sorotan Tagar 'No Viral No Justice'
D'On, Jakarta – Kasus penganiayaan yang melibatkan George Sugama Halim (GSH), anak pemilik toko roti terkenal, terhadap pegawainya berinisial DAD (19) telah memicu kehebohan publik. Munculnya tagar ‘no viral no justice’ menjadi simbol kegeraman warganet atas lambannya penanganan hukum, meskipun insiden tersebut sudah dilaporkan sejak Oktober. Kapolres Jakarta Timur Kombes Nicolas Ary Lilipaly akhirnya angkat bicara untuk menjawab tudingan publik terkait penanganan kasus yang dinilai terlalu lama ini.
Perjalanan Kasus yang Berliku: Dari Laporan Hingga Viral
Peristiwa penganiayaan terjadi pada 17 Oktober 2023. Hari berikutnya, korban DAD, seorang pegawai di toko roti milik keluarga George, melaporkan kejadian tersebut ke Polres Jakarta Timur. Namun, proses hukum dinilai berjalan sangat lambat. Baru pada 16 Desember, dua bulan setelah laporan dibuat, George akhirnya ditangkap.
Penangkapan ini terjadi bukan karena mekanisme penanganan yang biasa, melainkan setelah video penganiayaan viral di media sosial dan memantik kemarahan publik. Dalam video tersebut, tampak jelas bagaimana George mengamuk dan menyerang korban dengan sejumlah benda keras. Publik pun mempertanyakan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.
Munculnya tagar ‘no viral no justice’ di berbagai platform media sosial mengkritik pola penanganan kasus yang sering kali baru mendapat atensi ketika menjadi konsumsi publik. Hal ini semakin memperkuat persepsi bahwa keadilan di negeri ini hanya berlaku ketika ada tekanan dari massa.
Polisi Berkilah: SOP dan Minimnya Bukti Awal
Menanggapi kritik tersebut, Kombes Nicolas Ary Lilipaly menegaskan bahwa pihak kepolisian sudah bekerja sesuai prosedur sejak kasus pertama kali dilaporkan. Menurut Nicolas, penanganan lambat terjadi karena korban tidak melampirkan barang bukti berupa video atau foto saat pertama kali melapor. Hal ini membuat penyelidikan harus berjalan dari titik awal tanpa dukungan bukti visual.
“Nah, kami juga tambahkan pada saat pemeriksaan awal, tidak ada disampaikan oleh si korban terkait video ataupun foto-foto,” ujar Nicolas dalam konferensi pers di Mapolres Jakarta Timur pada Senin (16/12). Ia menambahkan, video tersebut baru diketahui pihak kepolisian setelah viral di media sosial.
“Penyidik baru tahu ada video setelah viral. Pertanyaannya, kenapa korban tidak menyampaikan itu kepada kami sejak awal?” tambah Nicolas, menyoroti fakta bahwa bukti kuat itu seharusnya bisa mempercepat proses hukum sejak awal.
Lebih lanjut, Nicolas menegaskan bahwa penyidik telah mulai bekerja sejak awal November, sekitar dua minggu setelah laporan dibuat. Ia menjelaskan bahwa ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam menangani kasus pidana umum, sesuai standar operasional prosedur (SOP) kepolisian.
“SOP dalam tahap penyelidikan dan penyidikan itu jelas. Kami tidak bisa melompat-lompat proses, karena kalau itu terjadi, penyidik bisa dihantam balik oleh pengacara tersangka,” tegasnya. Nicolas juga menegaskan bahwa asas praduga tak bersalah harus tetap dihormati dalam setiap proses hukum.
Detail Kronologi Penganiayaan: Kekerasan Brutal di Balik Permintaan Sepele
Kejadian yang menimpa DAD bermula dari permintaan George yang ditolak oleh korban. Pada 17 Oktober, George meminta agar roti diantarkan ke kamarnya. Namun, DAD menolak permintaan tersebut, yang memicu kemarahan George. Dalam kemarahannya, George melakukan tindakan brutal dengan menggunakan sejumlah benda keras sebagai senjata.
Benda-benda yang digunakan antara lain:
1. Mesin EDC,
2. Patung,
3. Kursi besi, dan
4. Loyang.
Akibat penganiayaan tersebut, pelipis DAD terluka cukup parah setelah terkena hantaman loyang. Luka tersebut tidak hanya menimbulkan rasa sakit fisik, tetapi juga trauma psikologis bagi korban.
DAD, yang kala itu hanya menjalankan tugasnya, kini harus menanggung dampak akibat ulah majikannya. Luka di pelipisnya seakan menjadi simbol ketidakadilan yang ia alami selama dua bulan tanpa kepastian hukum.
Penangkapan di Sukabumi: George Akhirnya Ditangkap Setelah Viral
Setelah video penganiayaan viral, polisi bergerak cepat dan berhasil menangkap George pada 16 Desember 2023. Penangkapan dilakukan di sebuah hotel di Sukabumi, tempat George menginap bersama keluarganya. Penangkapan ini akhirnya membawa angin segar bagi keluarga korban dan publik yang terus mengawal kasus ini.
Kini, George telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia disangkakan melanggar Pasal 351 KUHP ayat 1 dan 2 tentang penganiayaan, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. George saat ini ditahan di Polres Jakarta Timur untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Tagar ‘No Viral No Justice’: Kritik Tajam terhadap Penegakan Hukum
Kasus ini bukan sekadar persoalan individu antara pelaku dan korban. Lebih dari itu, insiden ini mencerminkan masalah sistemik dalam penanganan hukum di Indonesia. Lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan aparat kepolisian kembali memunculkan sentimen publik bahwa keadilan hanya akan ditegakkan jika kasus tersebut viral.
Tagar ‘no viral no justice’ menjadi pengingat bagi aparat hukum untuk bekerja lebih transparan, profesional, dan responsif, tanpa harus menunggu sorotan media atau tekanan publik. Masyarakat berharap kasus ini bisa menjadi momentum bagi kepolisian untuk memperbaiki citra serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Kasus penganiayaan DAD oleh George Sugama Halim adalah sebuah potret nyata tentang perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan. Di tengah kehebohan media sosial dan kritik publik, satu hal yang pasti: penegakan hukum harus berpihak kepada korban dan bukan pada kekuatan atau status sosial pelaku.
Kini, dengan George telah ditetapkan sebagai tersangka, publik akan terus mengawal jalannya persidangan. Masyarakat berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan, tidak hanya sebagai slogan, tetapi sebagai wujud nyata dari hukum yang berkeadilan dan berpihak kepada kebenaran.
(Mond)
#Viral #Penganiayaan #Kriminal