Breaking News

Perang Garam di Pantai Barat Minangkabau: Konflik, Perlawanan, dan Monopoli VOC

Header Mozaik Perang Garam di Pantai Barat Minangkabau. tirto.id/Tino

Dirgantaraonline -
Di awal abad ke-18, kampung-kampung di Pantai Barat Minangkabau, Sumatra, menjadi saksi bisu dari salah satu konflik ekonomi yang berujung pada perlawanan panjang. Daerah ini telah lama dikenal sebagai penghasil garam berkualitas. Dengan tanah subur dan akses ke pantai yang kaya akan sumber daya, para penduduk setempat mampu memproduksi ribuan ton garam setiap tahun. Namun, impian mereka memanfaatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan harus terhenti.

VOC, perusahaan dagang Hindia Timur Belanda, melihat potensi besar dalam perdagangan garam. Namun, alih-alih bersaing sehat, VOC memaksakan monopoli mutlak atas komoditas tersebut. Melalui kebijakan keras, penduduk Minangkabau dilarang memproduksi garam secara mandiri. Sebagai gantinya, mereka dipaksa membeli garam dari kapal-kapal VOC, yang didatangkan dari jauh seperti Madura dan Benggala, India.

Kebijakan ini tak hanya menghentikan ekonomi lokal, tetapi juga memantik bara perlawanan yang kelak berkobar menjadi api pemberontakan di Pantai Barat Sumatra.

Awal Pemberontakan: Ketidakadilan yang Membara

Pada awal 1727, ketegangan mencapai puncaknya. Nagari Pauh di sekitar Padang dan Tigabelas Kota di pedalaman Minangkabau menjadi pelopor perlawanan. Para penghulu kepala dari nagari ini memobilisasi rakyat mereka untuk melawan ketidakadilan. Mereka memulai dengan membakar gudang-gudang garam milik VOC di sepanjang pantai dari Padang hingga Tarusan.

Kerusuhan ini memaksa VOC bergerak cepat. Dalam catatan Generale Missiven tertanggal 31 Januari 1728, penghulu kepala Pauh disebut sebagai dalang utama pemberontakan tersebut. Kerusuhan di Padang, kota pelabuhan penting dan pusat logistik VOC di Pantai Barat Sumatra, langsung memengaruhi perdagangan garam di kawasan itu. Pasokan garam ke pedalaman Minangkabau terputus, membuat harga melambung tinggi.

VOC Merespons dengan Tangan Besi

Untuk meredam pemberontakan, VOC mengirim ratusan prajurit di bawah komando Kapten Mumme. Mereka berhasil memukul mundur para pemberontak ke bukit-bukit di sekitar Padang. Sebagai langkah pencegahan, VOC mendirikan pos jaga dan pagar penghalang di Kampung Duri, pinggiran Padang. Langkah ini bertujuan untuk mencegah para pemberontak kembali memasuki kota.

Namun, kondisi semakin sulit. Pada 1 Maret 1727, para penghulu dari Tigabelas Kota dan Pauh datang ke Benteng Padang dengan ratusan pengikut mereka. Mereka memohon agar perdagangan garam dibuka kembali. Setelah perundingan, sebuah kesepakatan damai ditandatangani, yang memungkinkan perdagangan garam dilanjutkan ke pedalaman.

Meski demikian, kedamaian itu tidak bertahan lama. Pada 1728, VOC memulai operasi militer untuk menghancurkan sisa-sisa tempat produksi garam lokal. Pondok-pondok dan lubang-lubang penyulingan garam dihancurkan, membuat masyarakat semakin menderita.

Perlawanan Raja Ibrahim: Simbol Perjuangan

Di tengah kekacauan, seorang pemimpin lokal dari Tiku, Raja Ibrahim, muncul sebagai simbol perlawanan. Tidak seperti penghulu lainnya, Raja Ibrahim menolak bernegosiasi dengan VOC. Ia terus memimpin serangan terhadap gudang-gudang garam VOC, membakar fasilitas mereka, dan mengorganisasi rakyat untuk tetap memproduksi garam secara sembunyi-sembunyi.

VOC mencatat Raja Ibrahim sebagai ancaman besar. Pada 18 April 1739, perintah tegas dikeluarkan: menangkap Raja Ibrahim dengan segala cara atau setidaknya menghancurkan kekuatannya agar ia tidak lagi mampu memimpin pemberontakan. Ekspedisi demi ekspedisi diluncurkan untuk menghancurkan tempat penyulingan garam ilegal yang diduga didalangi Raja Ibrahim.

Namun, upaya VOC kerap menemui kegagalan. Raja Ibrahim dan pengikutnya selalu berhasil lolos, sementara gudang-gudang garam VOC terus menjadi sasaran pembakaran.

Akhir Hidup Raja Ibrahim dan Warisan Perlawanan

Pada akhirnya, Raja Ibrahim terbunuh pada akhir 1740 di Nagari Durian Gadang oleh kelompok suruhan Raja Kinali. Namun, kematiannya tidak serta-merta mengakhiri konflik. Perlawanan rakyat terus berlangsung hingga dekade 1740-an, didorong oleh ketidakadilan monopoli garam yang mencekik kehidupan mereka.

VOC, meski berhasil meredam sebagian perlawanan, mulai menyadari bahwa pendekatan represif mereka tidak sepenuhnya efektif. Pada 1751, VOC melonggarkan kebijakan monopoli mereka, mengizinkan masyarakat lokal memproduksi dan memperdagangkan garam dalam batas tertentu. Namun, kebebasan ini hanya sementara. Pada 1760, monopoli garam diberlakukan kembali dengan aturan yang lebih ketat.

Pelajaran dari Konflik

Kisah perang garam di Pantai Barat Minangkabau menjadi bukti nyata bagaimana kebijakan kolonial yang menindas dapat memicu perlawanan sengit dari rakyat. Meskipun VOC berhasil meraup keuntungan besar dari monopoli garam, mereka juga harus membayar mahal dengan berlarut-larutnya konflik yang tak kunjung usai.

Bagi rakyat Minangkabau, perlawanan terhadap monopoli garam bukan hanya soal ekonomi. Itu adalah perjuangan untuk mempertahankan kemandirian, harga diri, dan hak atas kekayaan alam mereka sendiri. Perlawanan ini adalah bukti bagaimana semangat rakyat mampu menantang kekuatan besar, bahkan jika itu berarti bertaruh nyawa demi sebuah keadilan.

Akhir Monopoli dan Warisan Sejarah

Meski monopoli garam berakhir, luka yang ditinggalkan oleh kebijakan VOC tetap menjadi bagian penting dari sejarah Minangkabau. Kisah perang garam ini menjadi pengingat betapa pentingnya menghormati hak dan kedaulatan lokal dalam setiap bentuk pemerintahan. Dan bagi rakyat Minangkabau, kisah ini adalah simbol perlawanan yang abadi terhadap penindasan.

(Mond)

#Mozaik #Sejarah #Garam #Minangkabau #VOC