Breaking News

PKB Desak Warga yang Menolak Kenaikan PPN 12 Persen untuk Ajukan Judicial Review ke MK

Ilustrasi Pajak Foto: Shutterstock

D'On, Jakarta –
Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terus memicu perdebatan publik. Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Faisol Riza, menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan pada 2021. Faisol pun mendorong siapa saja yang keberatan untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jika masyarakat merasa keberatan dengan pemberlakuan PPN 12 persen sesuai dengan UU HPP, sebaiknya dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Faisol melalui pernyataan tertulisnya, Senin (23/12).

PDIP Diminta Konsisten dengan Keputusannya

Polemik ini juga melibatkan partai politik besar, PDIP, yang saat ini menyatakan penolakannya terhadap kenaikan PPN. Padahal, Faisol mengingatkan bahwa PDIP sebelumnya turut menyetujui pengesahan UU HPP di DPR RI periode lalu. Undang-undang tersebut bahkan telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2021.

“PDIP ikut menyetujui UU HPP saat pengesahan. Maka, jika sekarang menolak, silakan berargumen kembali di sidang judicial review di MK. Jelaskan alasan mereka menyetujui sebelumnya, tetapi kini menentang kebijakan itu,” tegas Faisol, yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Perindustrian di Kabinet Merah Putih.

Kenaikan PPN Demi Kesejahteraan Rakyat?

Faisol menilai sikap PDIP yang menolak kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat keberpihakan kepada rakyat. Menurutnya, kenaikan PPN bertujuan untuk memperkuat anggaran negara, yang pada akhirnya digunakan untuk berbagai program kesejahteraan.

“Berilah kesempatan kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini. Toh, hasil dari pajak akan kembali kepada rakyat melalui belanja pemerintah, seperti bantuan sosial, subsidi listrik, elpiji, dan BBM. Apakah PDIP kini lebih setuju jika subsidi-subsidi tersebut dicabut dari rakyat?” ujarnya.

Risiko Jika Pajak Tidak Naik

Lebih jauh, Faisol mengingatkan adanya risiko besar jika negara membatalkan kenaikan pajak ini. Salah satunya adalah pengurangan anggaran untuk sektor-sektor vital, seperti pendidikan dan bantuan sosial.

“Jika pajak tidak dinaikkan, dari mana pemerintah akan mendapatkan anggaran untuk membayar gaji guru, sertifikasi guru, membangun gedung sekolah, atau menyediakan 3 juta rumah untuk rakyat? Bagaimana kita bisa menyediakan makan bergizi gratis untuk masyarakat? Pajak adalah sarana kita untuk membangun bangsa. Tanpa peningkatan PPN, konsekuensinya adalah memangkas subsidi, bahkan mencabutnya sama sekali,” paparnya.

Menimbang Keputusan di Tengah Pro-Kontra

Kenaikan PPN ini memang menjadi isu yang memecah pandangan publik. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menopang program pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun, di sisi lain, masyarakat—terutama kalangan menengah ke bawah—khawatir kebijakan ini akan semakin membebani mereka di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi.

Kini, semua mata tertuju pada langkah-langkah yang akan diambil oleh pihak-pihak yang menolak kebijakan ini. Apakah mereka akan menempuh jalur judicial review untuk menguji kembali dasar hukum kenaikan PPN, atau justru mencari solusi lain yang lebih konstruktif?

Satu hal yang pasti, diskursus tentang pajak ini tidak hanya soal angka, tetapi juga menyangkut prinsip keadilan, keberpihakan, dan tanggung jawab bersama dalam membangun masa depan bangsa.

(Mond)

#PKB #MahkamahKonstitusi #PPN12Persen #KenaikanPajak12Persen #Nasional