Breaking News

Situs Humas Polri Diretas: Kritik Pedas soal Vonis Ringan Kasus Korupsi Rp300 Triliun

Situs Resmi Humas Polri Diretas

D'On, Jakarta –
Laman resmi Divisi Humas Polri (humas.polri.go.id) menjadi sasaran aksi peretasan pada Minggu malam, 29 Desember 2024. Dalam serangan tersebut, peretas yang mengatasnamakan "rakyat" menyampaikan kritik tajam terhadap vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis, terdakwa korupsi tata niaga timah yang hanya dihukum 6 tahun 6 bulan penjara meski menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.

Saat diakses, situs tersebut menampilkan pesan-pesan kritis yang mengecam lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Tampilan utama laman berubah menjadi latar penuh sindiran dengan tulisan besar, "Markobar. Mari Korupsi Bareng-bareng," disertai frasa "Stamped By Hukum Rakyat." Pesan itu menyiratkan kekecewaan mendalam terhadap sistem hukum yang dianggap tidak adil—tajam menghukum rakyat kecil, tetapi tumpul menghadapi kekuasaan dan uang.

Pesan Peretas: Seruan untuk Keadilan yang Hilang

Salah satu pesan yang ditinggalkan peretas ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto. Mereka menantang Prabowo, yang kini berada di pucuk pemerintahan, untuk bersikap tegas dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan.

Isi pesan lengkap tersebut sebagai berikut:

"Pak Prabowo, sebagai sosok yang berada di lingkaran pemerintahan, sudah saatnya Anda berbicara lantang soal keadilan hukum di negeri ini. Bagaimana mungkin kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp300 triliun hanya dihukum 6,5 tahun penjara? Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keadilan yang terasa jauh dari rakyat kecil. Kalau rakyat miskin mencuri ayam saja dihukum berat, lalu bagaimana dengan pelaku korupsi yang jelas-jelas menghancurkan masa depan bangsa?

Hukum di Indonesia sudah terlalu lama dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sebagai calon presiden, apakah Anda hanya akan diam dan membiarkan hukum dipermainkan oleh uang dan kekuasaan?

Rakyat butuh keberanian untuk melawan korupsi, bukan sekadar janji kosong tanpa tindakan. Rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada pemimpin yang hanya bicara soal kemajuan ekonomi, tapi lupa bahwa akar masalahnya adalah korupsi yang tak tersentuh. Jika Anda memang peduli pada Indonesia, tunjukkan bahwa Anda berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, termasuk pada para oligarki dan kroni."

Pesan tersebut tidak hanya menyuarakan rasa frustrasi atas vonis ringan Harvey Moeis, tetapi juga menyoroti ketimpangan sistem hukum yang telah lama dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Latar Belakang Kasus: Kerugian Negara Rp300 Triliun

Harvey Moeis, yang dikenal sebagai representasi PT Refined Bangka Tin (RBT), divonis oleh Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto pada kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha PT Timah Tbk. Kasus ini melibatkan praktik yang berlangsung selama tujuh tahun, dari 2015 hingga 2022, dengan total kerugian negara mencapai angka fantastis, yaitu Rp300 triliun.

Kerugian negara ini mencakup beberapa komponen besar, seperti:

Rp2,28 triliun dari aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat pengolahan timah.

Rp26,65 triliun dari pembayaran bijih timah.

Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan akibat eksploitasi tambang ilegal.

Tidak hanya itu, Harvey juga diketahui menerima aliran dana sebesar Rp420 miliar bersama Helena Lim, seorang manajer di PT Quantum Skyline Exchange (QSE).

Meski terbukti bersalah atas tindak pidana korupsi dan pencucian uang, vonis 6 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan kepada Harvey jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yang meminta hukuman 12 tahun penjara disertai pidana tambahan. Selain hukuman penjara, Harvey hanya diwajibkan membayar denda sebesar Rp1 miliar dan uang pengganti senilai Rp210 miliar. Jika tidak membayar, ia akan dikenakan tambahan hukuman dua tahun penjara.

Putusan yang Menuai Kontroversi

Putusan ringan ini menuai kritik luas. Harvey Moeis dianggap hanya mendapat "sentuhan hukum" ringan meskipun terbukti terlibat dalam kejahatan besar yang merugikan negara dalam skala luar biasa. Banyak pihak menilai vonis ini mencerminkan keberpihakan sistem hukum kepada kelas atas, sekaligus menunjukkan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sementara itu, dua tokoh lainnya yang terlibat dalam kasus yang sama, yaitu Direktur Utama PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha Reza Andriansyah, masing-masing divonis hukuman 8 tahun dan 5 tahun penjara. Suparta juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp4,57 triliun.

Namun, vonis terhadap mereka tetap dinilai tidak sebanding dengan besarnya dampak kerugian yang ditimbulkan. Fakta bahwa kasus ini melibatkan kerugian lingkungan yang sangat besar sebesar Rp271,07 triliun semakin memperparah kekecewaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.

Reaksi Publik dan Tantangan bagi Pemerintah

Peretasan situs Humas Polri ini mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem hukum yang dianggap diskriminatif dan tidak tegas terhadap kasus korupsi besar. Pesan peretas menjadi simbol protes dari banyak pihak yang menuntut perbaikan sistem hukum dan langkah tegas pemerintah dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Bagi Presiden Prabowo Subianto, kasus ini menjadi ujian besar. Sebagai pemimpin negara yang kerap menyuarakan visi tentang kemajuan ekonomi dan pembangunan, publik menantikan langkah nyata untuk menegakkan hukum secara adil, terutama dalam memberantas korupsi yang telah mengakar.

Indonesia, yang selama ini terpuruk oleh dampak korupsi sistemik, kini menghadapi pertanyaan besar: akankah keadilan benar-benar ditegakkan, atau akan terus menjadi ilusi bagi rakyat kecil?

(VV)

#SitusHumasPolriDiretas #KorupsiTimah #Hack #