Breaking News

Tambang Galian C Ilegal: Penderitaan Tak Berujung di Kawasan Batang Anai

Aktivitas tambang galian C Sungai Batang Anai di Kecamatan Lubuk Alung, Padang Pariaman, 20 Juni 2024. (Walhi Sumbar)

D'On, Batang Anai –
Di Balik Janji Pembangunan, Kehancuran Mengintai.

Ernawati (52), seorang warga Nagari Sungai Buluh Timur, Batang Anai, mengenang masa-masa mudanya dengan kehangatan yang kini terasa asing. Di belakang rumahnya yang dulu berdiri kokoh, terbentang sungai jernih dan hamparan sawah hijau. Namun, semua itu kini hanya menjadi bagian dari cerita masa lalu. Rumahnya, yang pernah menjadi tempat berlindung keluarganya, telah hancur akibat gerusan Sungai Batang Anai yang perlahan "memakan" daratan.

"Rumah saya dulu berjarak 200 meter dari sungai. Tapi sejak alurnya berubah, sungai itu mendekat hingga akhirnya menghancurkan rumah saya pada 2015," ujar Ernawati, Jumat (13/12/2024). Sejak kejadian itu, 14 rumah lain di kawasan tersebut turut lenyap, tersapu oleh arus yang tak lagi terkendali.

Bencana ini tidak hanya merenggut tempat tinggal. Lahan pertanian, sumber penghidupan utama warga, kini juga terancam. Panen padi yang dulu mencapai tiga ton per musim kini hanya menyisakan satu ton. "Semuanya berubah sejak sungai mulai dikeruk oleh alat berat," keluh Ernawati.

Fatmawati (53), tetangga Ernawati, juga mengalami nasib serupa. Rumahnya hancur, dan ia harus mencari tempat tinggal baru. Hingga kini, belum ada kepastian dari pemerintah terkait penggantian rumah warga yang terdampak. "Kami menunggu, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan," ujarnya dengan nada penuh kekecewaan.

Jejak Ekskavator dan Luka Mendalam Sungai Batang Anai

Perubahan alur sungai Batang Anai diyakini warga mulai terjadi sejak 2005, ketika tambang galian C ilegal marak menggunakan ekskavator. Kuslaini (52), warga Jorong Gantiang Koto Buruak di Kecamatan Lubuk Alung, menceritakan bahwa aktivitas masif penambangan pasir dan batu ini telah mengubah ekosistem sungai.

"Sejak ekskavator masuk, sumur kami sering kering saat kemarau. Padahal sebelumnya air bersih tidak pernah menjadi masalah," tuturnya. Kuslaini dan warga lain kini harus menghadapi kekeringan yang berkepanjangan, hilangnya ikan-ikan sungai, dan lahan pertanian yang tak lagi produktif.

Pada 2018, aktivitas ini semakin masif dengan kebutuhan material proyek Jalan Tol Padang-Sicincin. Darmawan (57), seorang warga, mengatakan, "Material tol itu berasal dari sini. Saya dapat informasi bahwa pasir dan batu diambil dari sungai pada malam hari lalu disimpan di lahan sewaan."

Pembangunan yang Merampas Harapan Masyarakat

Bagi masyarakat Batang Anai, proyek infrastruktur nasional seperti Tol Padang-Sicincin bukannya membawa manfaat, tetapi malah meninggalkan luka. Menurut Herik Rinal, seorang tokoh adat sekaligus aktivis lingkungan dari Aliansi Masyarakat Menolak Perusak Lingkungan (AMMUAK), aktivitas tambang ilegal ini telah menurunkan dasar Sungai Batang Anai hingga 10 meter dalam 10 tahun terakhir.

"Dulu warga bisa memanen ikan larangan setiap enam bulan untuk kas nagari. Sekarang, sungai itu kering, bahkan ikan pun sudah hilang," ungkap Herik. Ia menegaskan, meskipun tambang manual oleh warga sudah ada sejak lama, dampaknya tidak separah kerusakan yang ditimbulkan oleh ekskavator yang digunakan para pemodal besar.

Laporan dan aksi unjuk rasa yang dilakukan warga kepada pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, belum membuahkan hasil yang nyata. Bahkan, Herik mengungkapkan bahwa aktivitas tambang ini mendapat dukungan dari oknum tertentu yang memiliki kepentingan.

Konflik Berdarah di Balik Tambang Ilegal

Masalah tambang ilegal ini tidak hanya merusak lingkungan dan merugikan masyarakat, tetapi juga melibatkan konflik serius antar aparat. Pada November 2024, kasus penembakan antara dua perwira polisi di Solok Selatan menghebohkan publik. Kabag Ops Polres Solok Selatan diduga menembak Kasat Reskrim karena tidak setuju dengan penangkapan pelaku tambang ilegal.

"Ini bukti bahwa tambang ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menyentuh ranah hukum yang seharusnya menjadi penjaga masyarakat," tegas Wengki Purwanto, Direktur Walhi Sumatera Barat.

Harapan yang Kian Meredup

Kini, masyarakat Batang Anai hanya bisa berharap pemerintah benar-benar menindak tegas tambang ilegal yang merampas tanah, air, dan masa depan mereka. Namun, dengan dugaan keterlibatan oknum aparat dan lemahnya penegakan hukum, harapan itu kian tipis.

Sementara itu, Edral dari Dinas ESDM Sumatera Barat menegaskan pentingnya tata kelola tambang yang baik. "Kebutuhan sumber daya alam harus diimbangi dengan prosedur yang benar. Jika ada tambang ilegal, kami mendorong masyarakat untuk melaporkannya," ujarnya.

Namun, bagi warga seperti Ernawati, Fatmawati, dan Kuslaini, yang telah kehilangan segalanya, janji-janji pemerintah terasa bagai angin lalu. Apa yang mereka butuhkan bukan sekadar imbauan, melainkan tindakan nyata untuk menghentikan tambang ilegal dan memulihkan ekosistem Batang Anai yang sudah terlanjur hancur.

Batang Anai, kini menjadi simbol pembangunan yang memakan korban. Akankah ada titik terang, atau ini hanya menjadi kisah lain dari panjangnya daftar penderitaan masyarakat akibat eksploitasi alam tanpa kendali?

(*)

#GalianCIlegal #SumateraBarat