Breaking News

Tragedi Tanjung Priok 1984, Kisah yang Lama Terdiam: Luka Berdarah dari Orde Baru

KOMPAS/BAMBANG SUKARTIONO

Suasana sekitar Tanjung Priok sesaat setelah aksi kerusuhan (13/9/1984


Dirgantaraonline -
Tragedi Tanjung Priok 1984 adalah salah satu lembaran kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini mencerminkan betapa represifnya rezim Orde Baru terhadap suara-suara yang dianggap "melawan" kekuasaan. Ratusan nyawa melayang, dan hingga kini, keadilan untuk para korban dan keluarga mereka masih menjadi angan yang belum terwujud.

Latar Belakang Ketegangan

Pada awal 1980-an, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal yang harus diikuti oleh semua organisasi, termasuk organisasi keagamaan. Bagi banyak umat Islam, kebijakan ini dianggap membatasi kebebasan beragama dan memaksa mereka untuk tunduk pada ideologi negara secara mutlak.

Di Tanjung Priok, kawasan padat penduduk dengan mayoritas Muslim yang taat, situasi semakin memanas. Beberapa aparat pemerintah dianggap bersikap provokatif, seperti memasang spanduk bernada kontroversial di depan Masjid As-Sa’adah. Warga yang merasa terganggu mencopot spanduk tersebut, yang justru memicu penangkapan dua tokoh masjid, yakni Amir Biki dan H. Maulana Abdul Azis, oleh aparat militer. Penangkapan ini menjadi pemantik amarah warga setempat.

Malam Tragis di Sindang

Pada 12 September 1984, ratusan warga berkumpul di Masjid As-Sa’adah untuk menggelar aksi protes damai. Dipimpin oleh Amir Biki, seorang tokoh masyarakat yang karismatik, massa berjalan menuju Markas Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka hanya menuntut pembebasan dua tokoh yang ditahan dan meminta pemerintah menghormati kebebasan beragama.

Namun, saat massa mencapai Jalan Sindang, mereka dihadang oleh aparat bersenjata lengkap. Situasi yang awalnya damai berubah menjadi mimpi buruk. Tanpa peringatan yang jelas, aparat melepaskan tembakan ke arah kerumunan. Tembakan itu tidak hanya membubarkan massa, tetapi juga merenggut nyawa mereka secara brutal.

Korban yang Gugur dan Ditangkap

Dalam pembantaian tersebut, Amir Biki menjadi salah satu korban tewas. Ia ditembak saat mencoba melindungi massa dari serangan brutal aparat. Nama Amir Biki kemudian menjadi simbol perlawanan dan keberanian melawan ketidakadilan.

Selain Amir Biki, puluhan lainnya tewas, termasuk beberapa tokoh masyarakat yang ikut dalam aksi tersebut. Menurut saksi mata dan laporan independen, korban tewas mencapai lebih dari 400 orang, meskipun pemerintah saat itu hanya mengakui 18 korban jiwa. Sebagian besar korban adalah pria dewasa, tetapi tidak sedikit perempuan dan anak-anak yang juga menjadi sasaran tembakan.

Selain korban jiwa, banyak tokoh ditangkap dan disiksa, termasuk:

1. H. Maulana Abdul Azis - Ditangkap lebih awal karena dianggap provokator, kemudian mengalami penyiksaan fisik dan psikologis.

2. Zein Baharudin - Seorang tokoh agama yang ikut mendampingi massa. Ia ditangkap dan diinterogasi secara brutal.

3. Beberapa pemuda masjid yang terlibat dalam aksi damai, dituduh sebagai "pemberontak" dan dijatuhi hukuman berat di pengadilan tanpa proses yang adil.

Kekejaman di Balik Dinding Tahanan

Bagi mereka yang selamat dan ditangkap, tragedi tidak berakhir di jalanan. Di dalam tahanan, mereka menghadapi penyiksaan yang tak terbayangkan. Banyak yang dipukul, disetrum, dicambuk, dan bahkan dipaksa mengakui kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan.

Menurut kesaksian salah satu korban selamat, mereka dipaksa berdiri berjam-jam dengan tangan terikat dan mata tertutup. Jika mereka roboh, aparat akan memukuli mereka tanpa ampun. Beberapa tahanan meninggal karena penyiksaan tersebut, sementara lainnya mengalami trauma fisik dan mental yang membekas seumur hidup.

Peran Tokoh Militer

Beberapa tokoh militer yang bertanggung jawab atas peristiwa ini adalah:

1. Mayor Jenderal (Purn) Pranowo - Komandan yang dianggap memerintahkan penembakan.

2. Brigadir Jenderal (Purn) Sutrisno Mascung - Bertanggung jawab atas operasi militer di wilayah tersebut.

3. Kolonel Yogie S. Memet - Kepala Kodam Jaya saat itu, yang membela tindakan militer sebagai upaya menjaga stabilitas nasional.

Namun, meski nama-nama ini disebut dalam berbagai laporan, tidak ada hukuman berarti yang dijatuhkan kepada mereka.

Upaya Menghapus Jejak

Pemerintah Orde Baru, dengan kendali penuh atas media, menyebarkan narasi bahwa insiden ini adalah aksi pemberontakan yang harus ditumpas demi stabilitas nasional. Media tidak diizinkan meliput secara bebas, sementara keluarga korban dilarang berbicara ke publik.

Banyak jenazah korban yang langsung dikuburkan tanpa identifikasi. Beberapa bahkan dikuburkan di lokasi rahasia, membuat keluarga tidak pernah tahu di mana orang-orang tercinta mereka dimakamkan.

Perjuangan Keadilan yang Panjang

Pasca reformasi 1998, harapan keadilan mulai muncul. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelidiki tragedi ini dan menyatakan bahwa Tragedi Tanjung Priok adalah pelanggaran HAM berat. Namun, pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk gagal memberikan keadilan yang sejati. Banyak terdakwa yang dibebaskan dengan alasan kurangnya bukti.

Hingga kini, keluarga korban masih memperjuangkan pengakuan dan kompensasi. Mereka menuntut agar tragedi ini dicatat sebagai bagian dari sejarah nasional, dan para pelaku diadili di pengadilan yang benar-benar independen.

Luka yang Belum Sembuh

Tragedi Tanjung Priok adalah simbol dari kekejaman sebuah rezim yang lebih mengutamakan stabilitas daripada kemanusiaan. Luka yang ditinggalkan tidak hanya dirasakan oleh keluarga korban, tetapi juga menjadi trauma kolektif bagi bangsa ini.

Hingga hari ini, kita masih bertanya-tanya: kapan keadilan benar-benar ditegakkan? Kapan sejarah yang sebenarnya diungkap? Selama pertanyaan-pertanyaan ini tetap menggantung, Tragedi Tanjung Priok akan terus menjadi peringatan pahit bahwa kekuasaan tanpa batas selalu membawa kehancuran.


Fakta Singkat

Kerusuhan Tanjung Priok 1984

12–13 September 1984

Latar Belakang

Penerapan kebijakan asas tunggal Pancasila

Beberapa tokoh Islam mulai dikesampingkan oleh pemerintahan Orde Baru

Pemerintah melarang ceramah-ceramah di masjid yang berisikan tentang kritikan terhadap Orde Baru

Kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada 4 Januari 1982

Pengajuan RUU Organisasi Masyarakat pada 30 Mei 1984

Pengadilan Tersangka Kerusuhan 1984–1985

Ahmad Sahi, Syarifufin Rambe, Syafwan bin Sulaeman dan Mohammad Noor dipidana kurungan penjara antara 18 bulan sampai 2,5 tahun

28 orang tersangka kerusuhan menerima hukuman penjara antara 1–3 tahun

AM Fatwa dituduh melakukan diskusi tentang Tanjung Priok dan menyebarkan kronologi peristiwa yang berbeda dengan pemerintah, dituntut hukuman penjara 18 tahun

Penceramah Salim Qadar dan Yayan Hendrayana dituduh melakukan provokasi kerusuhan dituntut pidana

Pengadilan Tersangka Kerusuhan 1984–1985

29 Februari 2000, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM untuk kasus Tanjung Priok

Pengadilan HAM ad hoc dilaksanakan pada September 2003 — Agustus 2004

Beberapa petinggi aparat keamanan dan para anggotanya terbukti melakukan pelanggaran HAM berat.

Kompensasi Rp1,15 miliar yang harus dibayar negara kepada korban atau keluarganya

14 tersangka persidangan: dua orang divonis bebas, satu orang dipidana 10 tahun penjara, satu orang dipidana 3 tahun penjara, dan 10 orang dipidana 2 tahun penjara

(***)

#TragediBerdarah #TragediTanjungPriok #PelanggaranHAMBerat