Breaking News

2 Wanita Dijual Lewat MiChat, Dipaksa Layani 70 Pria

Para pelaku kasus TPPO saat dihadirkan di Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa (14/1/2025). Foto: Dok. Istimewa

D'On, Jakarta –
Keheningan di Kebayoran Baru pecah dengan pengungkapan kasus perdagangan manusia yang melibatkan dua wanita muda berinisial AMD dan MAL. Dalam sebuah operasi yang dilakukan oleh Unit Reskrim Polsek Kebayoran Baru, empat orang pelaku berinisial RA, MRC, MR, dan R diringkus atas dugaan eksploitasi seksual. Keempat pelaku menggunakan ancaman jeratan utang untuk memaksa korban melayani puluhan tamu setiap bulan.

Sistem yang Terorganisir

Kanit Reskrim Polsek Kebayoran Baru, Kompol Nunu Suparmi, memaparkan bahwa kasus ini melibatkan sebuah sistem yang terstruktur rapi. Para pelaku membagi peran dengan jelas. RA alias A dan MRC alias B bertugas sebagai admin aplikasi MiChat, sebuah platform yang digunakan untuk memasarkan jasa korban. Sementara itu, MR alias M dan R berperan sebagai pengawal dan pengantar korban ke lokasi transaksi.

“Mereka memanfaatkan aplikasi MiChat untuk menawarkan jasa korban. Setelah ada tamu yang setuju, tamu akan diarahkan ke sebuah hotel di kawasan Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan, yang sudah mereka sewa,” ujar Kompol Nunu dalam konferensi pers, Selasa (14/1).

Korban Jeratan Utang

Korban, AMD dan MAL, berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Hidup di tengah himpitan kebutuhan, mereka akhirnya jatuh ke dalam perangkap para pelaku yang menggunakan jeratan utang sebagai alat untuk memaksa mereka bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

“Ancaman itu berupa utang. Mereka (korban) diancam harus melunasi utang yang tidak dijelaskan nominalnya. Akibat ancaman ini, korban mulai bekerja dengan mereka sejak Oktober 2024,” jelas Kompol Nunu.

Penghasilan yang Tak Sebanding

Eksploitasi yang dialami korban semakin memprihatinkan saat rincian honor mereka terungkap. AMD dan MAL hanya menerima upah Rp 3,5 juta untuk setiap 70 tamu yang mereka layani. Jika dihitung, korban hanya mendapat sekitar Rp 50 ribu untuk setiap kali melayani tamu—sebuah jumlah yang jauh dari layak, apalagi jika mempertimbangkan risiko fisik dan psikologis yang harus mereka hadapi.

“Korban hanya dibayar Rp 3,5 juta per 70 tamu. Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh para pelaku dari aktivitas tersebut,” tambah Nunu.

Pelanggan Lintas Bangsa

Menurut keterangan pihak kepolisian, korban tidak hanya melayani warga negara Indonesia (WNI), tetapi juga warga negara asing (WNA). Hal ini menunjukkan bahwa jaringan para pelaku memiliki skala yang cukup luas, dengan korban dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan besar tanpa mempertimbangkan dampak pada kehidupan mereka.

Langkah Pemulihan

Kini, AMD dan MAL telah berada di bawah pendampingan Dinas Sosial Jakarta Selatan. Mereka menjalani proses pemulihan psikologis untuk membantu mengatasi trauma akibat eksploitasi yang mereka alami.

“Kami telah mengenakan pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kepada para pelaku, mengingat adanya unsur jeratan utang yang digunakan sebagai ancaman terhadap korban,” tegas Kompol Nunu.

Refleksi Sosial

Kasus ini menjadi cermin gelap dari realitas yang dihadapi banyak wanita muda di Indonesia, terutama mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi sulit. Jeratan utang, ancaman, dan eksploitasi seksual menjadi momok yang terus mengintai, sementara para pelaku kejahatan memanfaatkan teknologi seperti aplikasi perpesanan untuk menjalankan aksi mereka.

Pengungkapan kasus ini sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan terhadap aktivitas daring dan pemberian perhatian lebih kepada kelompok rentan. Di balik angka dan fakta, ada kehidupan yang hancur dan harapan yang direnggut—sebuah harga yang tak ternilai akibat eksploitasi manusia.

(Mond)

#PekerjaSeksKomersial #TPPO #Kriminal #Prostitusi