75 Pengungsi Rohingya Terdampar, Dilarang Mendarat di Aceh
Para imigran Rohingya mendarat di Pantai Alue Bu Tuha, Peureulak Barat, Kabupaten Aceh Timur, Minggu (5/1/2025) malam.
D'On, Aceh – Laut biru Pantai Leuge yang biasanya dipenuhi wisatawan kini menyimpan kisah pilu. Sebuah kapal kayu tua, sarat dengan 75 pengungsi Rohingya, termasuk empat anak-anak, terombang-ambing di perairan lepas pantai barat Aceh. Kapal itu bukan kapal pesiar yang membawa wisatawan, melainkan perahu harapan bagi mereka yang melarikan diri dari persekusi di Myanmar. Namun, harapan itu seolah pupus saat mereka dilarang mendarat.
Dihadang di Pintu Gerbang Keselamatan
Sejak pagi, kapal yang membawa para pengungsi telah terpantau mendekati garis pantai. Namun, alih-alih disambut dengan bantuan, mereka justru diperintahkan untuk tetap di kapal. Petugas keamanan berjaga ketat di sekitar Pantai Leuge, memastikan tidak ada seorang pun yang melangkahkan kaki ke daratan.
“Untuk sementara, mereka belum diizinkan turun, mengingat hari ini merupakan hari libur nasional (Imlek). Banyak aktivitas wisata berlangsung, dan ada kekhawatiran mereka akan berbaur dengan kerumunan serta melarikan diri,” ujar Rizalihadi, pejabat setempat yang mengawasi situasi.
Keputusan ini memicu perdebatan. Sementara beberapa pihak memahami kebijakan tersebut demi alasan keamanan, yang lain mempertanyakan mengapa kemanusiaan harus tunduk pada jadwal wisata.
Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Di tengah laut, di atas perahu yang mungkin sudah melewati batas kemampuannya, para pengungsi Rohingya hanya bisa menunggu. Tidak ada tempat yang nyaman untuk beristirahat, tidak ada kepastian apakah mereka akan diterima atau diusir kembali ke lautan yang ganas.
Penduduk setempat, meski tak berdaya mengubah keputusan pemerintah, tetap menunjukkan solidaritas mereka. Beberapa warga membawa makanan dan air, menyerahkannya ke kapal dengan perahu kecil. Sebagian yang lain mengabadikan momen ini dengan kamera, menyebarkan berita bahwa tragedi kemanusiaan kembali terjadi di perairan Indonesia.
“Kami kasihan melihat mereka, apalagi anak-anak kecil yang ada di kapal itu. Mereka pasti sudah berhari-hari kelaparan,” ujar seorang warga yang turut membantu pengiriman makanan.
Nasib di Tangan Komunitas Internasional
Keputusan mengenai nasib para pengungsi kini berada di tangan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), yang disebut-sebut akan segera datang untuk menangani situasi ini.
Namun, insiden ini hanya satu dari banyaknya kasus serupa. Ribuan Rohingya terus berusaha mencapai tempat yang lebih aman, melawan gelombang laut dan kebijakan ketat negara-negara tujuan mereka.
Rohingya: Pengungsi yang Tak Diinginkan
Sejak bertahun-tahun, etnis Muslim Rohingya telah menghadapi diskriminasi dan kekerasan di Myanmar. Mereka tak diakui sebagai warga negara, dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan hidup dalam ketakutan. Bagi mereka, perjalanan berbahaya melintasi lautan bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Namun, tak banyak negara yang benar-benar bersedia membuka pintu bagi mereka. Malaysia dan Indonesia, meskipun menjadi tujuan utama, masih kerap menghadapi dilema dalam menangani kedatangan mereka.
Kisah 75 pengungsi Rohingya di Pantai Leuge adalah cerminan dari tragedi yang lebih besar—tragedi sebuah kelompok manusia yang terus mencari tempat untuk disebut sebagai rumah, tetapi dunia seolah menutup pintu bagi mereka.
Kini, dunia menunggu: apakah mereka akan diselamatkan, ataukah kembali dihempaskan ke lautan yang tak berbelas kasih?
(Mond)
#PengungsiRohingya #Peristiwa