Breaking News

Dinamika Libur Ramadan: Dari Kebijakan Kolonial hingga Era Modern

Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar 

Dirgantaraonline -
Kebijakan meliburkan pelajar Indonesia selama bulan Ramadan telah mengalami berbagai perubahan signifikan dari era kolonial hingga saat ini, mencerminkan dinamika sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia.

Era Kolonial Belanda

Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan sistem pendidikan modern di Hindia Belanda. Menyadari mayoritas penduduknya beragama Islam, pemerintah kolonial meliburkan sekolah-sekolah binaannya selama bulan Ramadan. Kebijakan ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS) hingga tingkat menengah atas seperti Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School (AMS). Libur ini berlangsung sekitar 39 hari, mencakup awal Ramadan hingga setelah Idul Fitri. 

Tujuan utama kebijakan ini adalah menghormati praktik keagamaan umat Islam dan mencegah potensi perlawanan dengan memberikan keleluasaan bagi siswa Muslim untuk menjalankan ibadah puasa dan ritual keagamaan lainnya. Selain itu, dengan meliburkan sekolah, pemerintah kolonial berharap dapat menenangkan masyarakat pribumi selama periode yang dianggap sakral ini. 

Masa Orde Baru

Perubahan signifikan terjadi pada era Orde Baru, khususnya pada tahun 1978 ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menjabat. Daoed Joesoef menganggap kebijakan libur sebulan penuh selama Ramadan sebagai upaya pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia berpendapat bahwa libur panjang tersebut menurunkan produktivitas belajar siswa. 

Sebagai respons, Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0211/U/1978 yang menetapkan bahwa waktu libur di bulan puasa dijadikan sebagai waktu belajar. Kebijakan ini membatasi libur sekolah selama Ramadan hanya pada awal dan akhir bulan puasa. Namun, keputusan ini menuai protes dari berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tokoh-tokoh masyarakat yang menganggapnya tidak sejalan dengan kebutuhan spiritual siswa Muslim. 

Era Reformasi

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999, kebijakan libur sekolah selama Ramadan kembali diterapkan. Gus Dur meliburkan sekolah selama bulan puasa untuk memberikan kesempatan kepada siswa Muslim memperdalam pengetahuan agama dan meningkatkan kualitas ibadah. Ia mendorong sekolah negeri maupun swasta untuk mengadakan program pesantren kilat selama libur Ramadan, dengan tujuan meningkatkan pemahaman agama Islam dan nilai toleransi beragama. 

Perkembangan Terkini

Setelah era Gus Dur, kebijakan libur sekolah selama Ramadan mengalami perubahan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, kebijakan ini diubah menjadi libur hanya pada awal bulan Ramadan, menjelang hari raya Idul Fitri, dan beberapa hari setelahnya. Kebijakan ini berlanjut hingga era Presiden Joko Widodo. 

Hingga saat ini, belum ada kebijakan nasional yang menetapkan libur penuh selama Ramadan. Beberapa sekolah, terutama yang berbasis Islam, mungkin menerapkan libur atau kegiatan khusus selama bulan puasa, sementara sekolah negeri umumnya tetap melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan penyesuaian jadwal. Perubahan kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan antara kebutuhan pendidikan dan penghormatan terhadap praktik keagamaan masyarakat.

Kebijakan libur sekolah selama Ramadan terus menjadi topik diskusi di Indonesia, dengan berbagai pertimbangan terkait efektivitas pendidikan, kebutuhan spiritual siswa, dan dinamika sosial-politik yang berkembang.

(Mond)

#LiburSekolahsaatRamadan #Ramadan