Breaking News

Drama di Pagar Laut: Menteri ATR/BPN Cabut 50 Sertifikat Tanah, Ada Apa di Baliknya?

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid resmi mencabut 50 sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di area Pagar Laut Tangerang, Kabupaten Tangerang, Banten.

D'On, Jakarta
Langit cerah di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, tampaknya tak mampu menutupi gejolak yang terjadi di daratan. Sebuah langkah besar dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang mencabut 50 sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di area Pagar Laut. Keputusan ini bukanlah hal kecil. Nusron langsung memimpin proses pengecekan lapangan, memastikan segala aspek fisik dan material tanah tersebut, yang disebut-sebut menyimpan jejak persoalan lama.

Keputusan kontroversial ini bermula ketika Nusron memerintahkan timnya untuk memeriksa dokumen yuridis dan prosedur penerbitan sertifikat. Dalam proses ini, mereka menemukan ketidaksesuaian yang menjadi dasar pembatalan sertifikat. “Kami melakukan pembatalan sertifikat, baik SHM maupun HGB, setelah mengecek fisik dan materialnya,” ujar Nusron tegas.

Misteri Sertifikat di Tanah yang Hilang

Area Pagar Laut ini dulunya merupakan empang—kolam tambak air payau—yang terletak di pinggir pantai. Namun, abrasi telah mengubah segalanya. Air laut perlahan menelan tanah ini, hingga yang tersisa hanyalah kenangan akan sebuah daratan. Kepala Desa Kohod sempat mengingatkan Nusron tentang sejarah area tersebut. Namun, Nusron dengan cepat menanggapi. “Jika tanah sudah hilang, hak apa pun atas tanah tersebut, termasuk HGB dan SHM, akan hilang pula,” ujarnya, mengutip hukum yang berlaku terkait tanah musnah.

Keberadaan sertifikat ini menjadi perdebatan panjang. Dari total sertifikat yang tercatat di area tersebut, ada 263 HGB dan 17 SHM. Menariknya, sebagian besar dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, sebuah perusahaan besar yang menguasai 243 bidang tanah. Sisanya dimiliki oleh PT Cahaya Abadi Sentosa serta perorangan. Namun, setelah pembatalan, setidaknya 50 sertifikat dinyatakan tidak berlaku lagi.

Bukan Sekadar Masalah Sertifikat

Di balik proses ini, Nusron juga harus menghadapi dinamika di lapangan. Saat melakukan pengecekan, perdebatan sempat terjadi antara Nusron dan Kepala Desa Kohod. Kepala desa bersikukuh bahwa area tersebut sebelumnya adalah empang yang terkena abrasi. Namun Nusron tidak bergeming. Ia menegaskan bahwa hukum memiliki aturan jelas soal tanah musnah. Tanah yang sudah lenyap karena faktor alam tidak lagi memiliki nilai kepemilikan, apalagi jika melibatkan sertifikat formal.

“Ini bukan hanya soal prosedur administratif, tapi juga soal keadilan dan keabsahan hukum. Kami tidak ingin sertifikat-sertifikat ini menjadi sumber konflik di kemudian hari,” ujar Nusron, menunjukkan keseriusannya dalam menyelesaikan persoalan ini.

Verifikasi Lebih Lanjut Masih Berlangsung

Meskipun 50 sertifikat telah dicabut, pekerjaan belum selesai. Nusron mengungkapkan bahwa proses verifikasi terhadap dokumen-dokumen lainnya masih berlangsung. Terlebih lagi, sebagian besar sertifikat yang telah diterbitkan sebelumnya menjadi pertanyaan besar. Apakah seluruh prosedur penerbitannya sesuai dengan hukum?

Langkah Nusron mencabut sertifikat ini tidak hanya berdampak pada perusahaan pemilik lahan, tetapi juga menjadi sinyal kuat bagi pihak lain untuk lebih berhati-hati dalam mengelola kepemilikan tanah di wilayah pesisir, yang rentan terhadap perubahan fisik akibat abrasi dan faktor alam lainnya.

Jejak Langkah Nusron Wahid di ATR/BPN

Langkah Nusron ini menjadi salah satu keputusan berani selama masa jabatannya sebagai Menteri ATR/BPN. Ia menunjukkan bahwa kepemilikan tanah tidak bisa dibiarkan tanpa pengawasan, terlebih jika terjadi konflik antara catatan administratif dan kondisi nyata di lapangan.

Area Pagar Laut ini menjadi contoh nyata bagaimana hukum agraria di Indonesia harus berhadapan dengan kenyataan geografis dan sosial. Tidak hanya itu, keputusan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi keadilan dan menghindari monopoli kepemilikan yang tidak sesuai prosedur.

Namun, seperti banyak langkah besar lainnya, kebijakan ini pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Perusahaan-perusahaan besar mungkin akan menggugat keputusan ini, sementara masyarakat pesisir menanti langkah lanjutan dari Nusron Wahid.

Apakah ini akan menjadi awal baru bagi pengelolaan tanah di wilayah pesisir? Ataukah konflik akan terus bergulir? Hanya waktu yang bisa menjawab. Satu hal yang pasti, jejak Nusron Wahid di area Pagar Laut ini tidak akan mudah dilupakan.

(Mond)

#PagarLaut #Nasional #NusronWahid