Breaking News

Dua Polisi Terlibat Pemerasan di DWP Dijatuhi Sanksi Berat

Konferensi pers Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Erdi Chaniago tentang putusan etik dua anggota Polri terkait pemerasan DWP, di Gedung Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Jumat (3/1/2025)

D'On, Jakarta –
Dunia hukum dan kepolisian kembali mendapat sorotan tajam setelah dua anggota Polri dari satuan reserse narkoba Polda Metro Jaya dijatuhi sanksi berat atas tindakan pemerasan terhadap pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) asal Malaysia. Kasus yang mencoreng nama institusi ini menjadi bukti nyata perlunya pembenahan dalam internal kepolisian. Dua anggota tersebut, Brigadir Fahrudin Rizki Sucipto dan Iptu Sehatma Manik, kini harus menerima konsekuensi hukum dan etik atas perbuatan tercela mereka.

Sidang Etik dan Keputusan Berat

Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang berlangsung di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (3/1/2025), menjadi momen yang menentukan bagi keduanya. Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Erdi Chaniago, menjelaskan dengan detail mengenai sanksi yang dijatuhkan.

Brigadir Fahrudin Rizki Sucipto mendapat sanksi demosi selama lima tahun. Ia juga diwajibkan menjalani penempatan khusus (patsus) selama 30 hari, dimulai sejak 27 Desember 2024 hingga 25 Januari 2025. Sebagai bagian dari hukuman etik, Fahrudin diwajibkan meminta maaf secara lisan di dalam sidang dan melalui pernyataan tertulis kepada pimpinan Polri.

“Pelanggar telah menyatakan banding atas putusan ini,” ujar Kombes Erdi dalam konferensi pers. Hal ini menunjukkan adanya upaya dari pihak pelanggar untuk mengajukan keberatan atas keputusan tersebut, meskipun fakta-fakta kasus telah jelas terungkap di persidangan.

Sementara itu, Iptu Sehatma Manik menghadapi sanksi yang lebih berat. Ia tidak hanya diwajibkan menjalani patsus bersamaan dengan Brigadir Fahrudin, tetapi juga dijatuhi mutasi berupa demosi selama delapan tahun. Selama masa demosi, ia akan ditempatkan di luar fungsi penegakan hukum langkah yang mencerminkan kehilangan kepercayaan institusi terhadapnya. Sama seperti rekannya, Sehatma juga harus menyampaikan permintaan maaf lisan dan tertulis, serta menyatakan banding atas keputusan tersebut.

Rehabilitasi dan Pembinaan Profesi

Tak hanya sanksi administratif, keduanya juga diwajibkan mengikuti pembinaan rohani, mental, dan profesional selama satu bulan. Pembinaan ini bertujuan untuk mengembalikan integritas serta moralitas sebagai aparat penegak hukum, meskipun citra mereka di mata publik telah ternoda. Dalam konteks institusi, langkah ini adalah bagian dari upaya Polri untuk menunjukkan komitmen dalam memperbaiki internal mereka.

Kronologi Kasus: Skandal di Tengah Pesta Musik

Kasus ini bermula dari tugas keduanya sebagai pengaman di acara DWP, salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia. Sebagai bagian dari satuan reserse narkoba, tugas mereka adalah mengamankan pengunjung, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun asing (WNA), yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Namun, alih-alih menjalankan tugas dengan integritas, keduanya justru terlibat dalam tindakan pemerasan.

Modus operandi mereka cukup sederhana namun memalukan: setelah menangkap pengunjung yang terlibat narkoba, mereka meminta uang sebagai imbalan untuk pelepasan. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama Polri, tetapi juga menambah daftar panjang permasalahan etika di tubuh institusi tersebut.

Dasar Hukum dan Pelanggaran Etik

Dalam persidangan, keduanya terbukti melanggar sejumlah aturan, termasuk Pasal 13 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, serta Pasal 5 Ayat 1 Huruf b dan c jo Pasal 12 Huruf b Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian. Pelanggaran ini menggarisbawahi ketidaksesuaian tindakan mereka dengan nilai-nilai profesionalisme dan tanggung jawab sebagai aparat penegak hukum.

Potret Kinerja Polri: Mencari Titik Terang di Tengah Gelapnya Citra

Kasus ini bukanlah yang pertama kali mencuat terkait pemerasan di DWP. Hingga kini, total tujuh anggota kepolisian telah dijatuhi sanksi, dengan tiga di antaranya mendapatkan hukuman pemecatan tidak dengan hormat (PTDH). Empat lainnya, termasuk Fahrudin dan Sehatma, menerima sanksi demosi. Angka ini mencerminkan adanya permasalahan mendasar dalam integritas personel di lapangan.

Namun, Polri juga menunjukkan langkah tegas dalam menangani kasus ini. Melalui sidang etik dan hukuman berat, institusi ini mencoba memperbaiki citra mereka di mata publik, sekaligus menegaskan bahwa setiap pelanggaran akan ditindak dengan serius.

Meski hukuman telah dijatuhkan, kasus ini meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi Polri. Masyarakat tidak hanya menginginkan keadilan, tetapi juga reformasi menyeluruh di tubuh kepolisian. Tindakan pemerasan seperti ini adalah potret buruk yang merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

Bagi Brigadir Fahrudin dan Iptu Sehatma, perjalanan panjang untuk memulihkan nama baik mereka baru saja dimulai. Namun, bagi Polri, tantangan terbesar adalah membuktikan bahwa kasus ini bukan sekadar bentuk penghukuman, melainkan awal dari perubahan yang lebih besar. Masyarakat kini menunggu, apakah Polri dapat benar-benar mereformasi diri, atau kasus seperti ini hanya akan menjadi satu dari banyak noda dalam sejarah mereka.

(Mond)

#Pemerasan #Polri #Polisi #DWP #OknumPolisiPerasWNMalaysia