Jual-Beli Remisi Napi Koruptor: Antara Isu dan Realita Hukum
Ilustrasi Penjara. FOTO/iStockphoto
D'On, Jakarta – Isu jual-beli remisi bagi narapidana kasus korupsi kembali menjadi sorotan publik. Dugaan bahwa ada praktik suap dalam pemberian pengurangan masa tahanan ini bukanlah kabar baru. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif, mengaku telah mendengar isu tersebut sejak dirinya masih menjabat. Bahkan, ia menyebut praktik ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pejabat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS).
"Sudah jadi rahasia umum bahwa remisi bagi narapidana sering disalahgunakan oleh banyak oknum di Dirjen Pemasyarakatan," ujar Laode, Kamis (30/1/2025).
Pernyataan Laode semakin memperkuat dugaan publik bahwa sistem pemberian remisi di Indonesia belum sepenuhnya bersih dari praktik korupsi. Isu ini pun semakin mencuat seiring dengan banyaknya narapidana kasus korupsi yang mendapat pemotongan hukuman signifikan, meskipun mereka baru menjalani sebagian kecil dari masa pidana mereka.
Pemerintah Membantah, Remisi Dianggap Sesuai Aturan
Di tengah polemik ini, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, membantah adanya praktik jual-beli remisi. Ia menegaskan bahwa pemberian remisi telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Remisi diberikan sesuai ketentuan Pasal 9-10 UU No. 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Keppres No. 174 tahun 1999 tentang Remisi," tegas Agus, Kamis (30/1/2025).
Menurut Agus, sistem yang ada saat ini sudah memiliki mekanisme ketat dalam penentuan siapa saja yang berhak mendapatkan pengurangan hukuman. Setiap narapidana yang mengajukan remisi akan melalui tahapan analisis dan penilaian tertentu sebelum akhirnya diberikan keputusan.
"Kalau dasarnya pakai ketentuan UU dan Keppres, gimana mau nyalahkan pelaksanaan?" tambahnya.
Pernyataan Agus mengindikasikan bahwa pihaknya percaya sistem yang ada sudah cukup transparan dan akuntabel. Namun, pernyataan ini tidak serta-merta menenangkan kegelisahan publik yang mempertanyakan apakah aturan tersebut benar-benar diterapkan tanpa penyimpangan.
KPK Memilih Bungkam, Publik Bertanya-tanya
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya memilih sikap diam terhadap isu ini. Lembaga antirasuah tersebut enggan mengomentari lebih jauh dan menyebut bahwa kebijakan pemberian remisi sepenuhnya berada di bawah kewenangan Kementerian Imipas.
Keengganan KPK untuk memberikan pernyataan lebih lanjut memunculkan pertanyaan: apakah KPK benar-benar tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi praktik ini, atau ada faktor lain yang membuat mereka lebih memilih untuk tidak ikut campur?
Remisi: Hak atau Celah Penyimpangan?
Sebagai catatan, Keppres No. 174 Tahun 1999 mengatur adanya dua jenis remisi bagi narapidana, yaitu:
- Remisi Umum – Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus.
- Remisi Khusus – Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada hari besar keagamaan yang dianut oleh masing-masing yang bersangkutan. Remisi ini diberikan maksimal satu kali dalam setahun.
Kedua jenis remisi ini dimaksudkan sebagai bagian dari kebijakan pembinaan narapidana agar mereka memiliki motivasi untuk berperilaku baik selama menjalani hukuman. Namun, dalam praktiknya, sistem remisi sering kali menjadi celah bagi narapidana tertentu—terutama napi kasus korupsi—untuk mendapatkan pengurangan hukuman secara signifikan, bahkan sebelum mereka benar-benar menunjukkan tanda-tanda rehabilitasi yang layak.
Transparansi dan Akuntabilitas Dipertanyakan
Kritik terhadap kebijakan remisi bagi napi korupsi sebenarnya bukanlah hal baru. Publik sering kali mempertanyakan mengapa koruptor yang telah merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah bisa mendapatkan pemotongan hukuman dengan mudah. Apakah sistem benar-benar berjalan sesuai aturan, atau ada oknum yang bermain di balik layar?
Di sinilah urgensi transparansi dan akuntabilitas dalam sistem remisi diuji. Pemerintah, khususnya Kementerian Imipas, perlu membuktikan bahwa pemberian remisi benar-benar berbasis pada aturan yang objektif dan bukan hasil transaksi di bawah meja. Tanpa pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin remisi justru menjadi “jalan keluar” bagi para pelaku korupsi untuk kembali menghirup udara bebas lebih cepat dari yang seharusnya.
Masyarakat menunggu langkah konkret dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa sistem remisi tidak menjadi alat negosiasi bagi napi berduit. Jika tidak ada perbaikan dalam transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan publik terhadap sistem pemasyarakatan akan semakin terkikis.
(Mond)
#Impas #Remisi #Narapidana #Nasional