Breaking News

Kejagung Ajukan Banding atas Vonis Helena Lim dalam Kasus Korupsi Timah

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Helena Lim bersiap menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (12/12/2024). Sidang tersebut beragendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi). ANTARA FOTO

D'On, Jakarta –
Perjalanan hukum kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah kembali memasuki babak baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi mengajukan banding terhadap vonis terdakwa utama, Helena Lim, yang sebelumnya dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Langkah ini, yang juga berlaku untuk terdakwa lainnya, dilakukan dengan alasan bahwa vonis tersebut dianggap belum mencerminkan rasa keadilan, baik dari sisi hukum maupun masyarakat.

Memori Banding: Menggugat Vonis yang Dinilai Ringan

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa keputusan untuk mengajukan banding bukan hanya soal lamanya hukuman penjara, tetapi juga terkait dengan keputusan majelis hakim yang mengembalikan beberapa barang bukti kepada para terdakwa. Menurut Harli, barang-barang tersebut seharusnya disita sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian negara.

"Ada beberapa barang bukti yang dalam putusan dikembalikan kepada terdakwa. Padahal, barang-barang tersebut memiliki kaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan," tegas Harli kepada wartawan pada Kamis (9/1/2025).

Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), Sutikno, menambahkan bahwa pihaknya telah menyerahkan memori banding secara resmi pada 31 Desember 2024. "Kami yakin langkah ini penting untuk memastikan bahwa rasa keadilan dapat ditegakkan dengan sebaik-baiknya," ujarnya.

Helena Lim dan Tuntutan yang Jauh Lebih Berat

Helena Lim, yang dikenal sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange, sebelumnya dituntut delapan tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain itu, ia juga dituntut membayar pidana denda sebesar Rp1 miliar dan uang pengganti kerugian negara senilai Rp210 miliar. Namun, majelis hakim justru menjatuhkan hukuman yang jauh lebih ringan: lima tahun penjara, denda Rp750 juta, serta uang pengganti sebesar Rp900 juta.

Putusan ini memicu kritik tajam dari JPU yang menyebutnya tidak sebanding dengan peran Helena dalam kasus korupsi besar yang melibatkan komoditas strategis negara. Jaksa Ardito Muwardi dari Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tuntutan delapan tahun telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sistemik korupsi yang dilakukan oleh Helena.

"Helena Lim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi serta pencucian uang. Perannya sangat signifikan dalam skema tata niaga timah yang merugikan negara," kata Ardito dalam persidangan pada Desember 2024.

Dalam kasus ini, Helena didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dinamika Hukuman dan Risiko Finansial Terdakwa

Selain hukuman penjara, tuntutan JPU mencakup denda subsider serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan vonis pengadilan yang hanya menetapkan uang pengganti Rp900 juta. Menurut jaksa, aset-aset Helena yang telah disita seharusnya digunakan untuk menutupi kerugian negara, bukan dikembalikan kepada terdakwa.

"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka pidana tambahan berupa empat tahun penjara akan diberlakukan," ungkap Ardito.

Banding Terdakwa Lain: Menyoroti Sistem Tata Niaga Timah yang Bermasalah

Selain Helena Lim, JPU juga mengajukan banding atas vonis tujuh terdakwa lain, yakni Emil Ermindra, MB Gunawan, Tamron, Mochtar Riza Pahlevi, Hasan Tjhie, Kwan Yung, dan Achmad Albani. Para terdakwa ini memiliki peran masing-masing dalam skema korupsi tata niaga timah yang diduga melibatkan manipulasi data izin usaha dan distribusi komoditas untuk keuntungan pribadi.

Kasus ini menjadi sorotan nasional karena menyangkut tata kelola sumber daya alam yang strategis. Banyak pihak berharap agar proses hukum terhadap para terdakwa dapat menjadi momentum perbaikan sistem tata niaga mineral dan tambang di Indonesia.

Harapan Akan Keadilan yang Tegas

Langkah banding ini menjadi sinyal kuat bahwa Kejaksaan Agung tidak akan berkompromi terhadap kasus-kasus korupsi besar, terutama yang menyangkut kerugian negara dalam jumlah signifikan. Keputusan akhir dari proses banding ini akan menjadi ujian bagi integritas sistem peradilan Indonesia dalam menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap.

Dengan memori banding yang telah diajukan, masyarakat kini menanti apakah Pengadilan Tinggi akan memberikan putusan yang lebih tegas dan sesuai dengan rasa keadilan. "Kami berharap hukum ditegakkan dengan adil dan tegas agar menjadi pembelajaran bagi semua pihak," tutup Harli Siregar.

(Mond)

#Kejagung #HelenaLim #KorupsiTimah #Hukum