Kritik Mantan Wakil Ketua LPSK: Sulit Mengharapkan Kejaksaan Lepas dari Pengaruh Politik
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI
D'On, Jakarta – Dalam sebuah dialog publik yang berlangsung di Hotel Horison, Rasuna, Jakarta Selatan, pada Kamis, 23 November 2023, Edwin Partogi Pasaribu, mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menyoroti dengan tajam isu independensi Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Edwin menegaskan bahwa salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum ini adalah sulitnya menjaga jarak dari pengaruh politik, yang menurutnya telah menghambat tercapainya profesionalisme dan integritas dalam sistem peradilan.
“Masalah independensi Kejaksaan ini sangat krusial, terutama dalam konteks Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan,” ungkap Edwin. Ia melanjutkan dengan menyoroti betapa sulitnya berharap Kejaksaan bisa beroperasi secara independen ketika proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sepenuhnya berada di tangan Presiden, serta masa jabatan Jaksa Agung yang mengikuti masa jabatan Presiden.
Menurut Edwin, kondisi ini menciptakan ketergantungan yang berpotensi mengarah pada politisasi lembaga kejaksaan. “Bagaimana kita bisa mengharapkan jaksa independen, kalau pengangkatan dan pemberhentiannya diatur oleh eksekutif? Ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar independensi lembaga penegakan hukum,” ujarnya.
Sebagai solusinya, Edwin menyarankan adanya reformasi dalam proses pemilihan Jaksa Agung. Ia berpendapat bahwa proses seleksi Jaksa Agung harusnya diatur sedemikian rupa, mirip dengan seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang melibatkan beberapa pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. “Saya rasa, agar Jaksa Agung bisa lebih independen, seharusnya ada pansel yang dibentuk, dengan beberapa unsur dari pemerintah dan masyarakat. Pansel ini yang kemudian mengajukan tiga calon Jaksa Agung kepada DPR, yang selanjutnya memilih salah satu, sementara Presiden hanya menetapkan,” saran Edwin.
Pendapat ini juga disetujui oleh Zainal Arifin Mochtar, seorang pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Zainal, yang akrab disapa Uceng, menyatakan bahwa isu independensi ini harus menjadi fokus utama dalam pembahasan revisi Undang-Undang Kejaksaan. “Jika undang-undang ini benar-benar akan diperbaiki, maka penerjemahan prinsip independensi dan pelaksanaan yang merdeka harus benar-benar dipikirkan dengan matang,” tuturnya.
Kejaksaan yang Terbelenggu Pengaruh Eksekutif
Menurut Zainal, banyak yang menyadari bahwa penerapan independensi di kejaksaan selama ini belum berjalan sepenuhnya. Hal ini karena Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, yang membuat kejaksaan sulit untuk benar-benar lepas dari pengaruh kekuasaan politik. “Proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang sangat bergantung pada Presiden menjadi masalah besar. Ini adalah area yang perlu diubah untuk memastikan kejaksaan lebih mandiri,” tambah Zainal.
Namun, masalah independensi bukan satu-satunya yang menjadi perhatian dalam dialog ini. Edwin juga menyoroti isu penggunaan senjata api oleh Jaksa, yang menurutnya tidak perlu. “Tugas utama Jaksa itu penuntutan, bukan operasi lapangan. Jaksa tidak seharusnya terjun untuk menangkap pelaku kriminal atau membubarkan kerusuhan. Itu tugas polisi,” tegas Edwin. Ia menyarankan agar pengeluaran negara untuk pengadaan senjata api untuk Jaksa dihentikan, karena tidak hanya membebani anggaran, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah dalam penggunaannya.
Kekhawatiran Terhadap Denda Damai
Sementara itu, Abdul Ficar Hadjar, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, mengangkat isu lain yang juga dinilai kritikal, yaitu penggunaan denda damai oleh Kejaksaan. Denda damai, yang sering diterapkan dalam pelanggaran ekonomi, menurut Abdul, sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, alih-alih untuk kepentingan negara. “Memang benar ada kasus yang menunjukkan bahwa denda damai ini bisa disalahgunakan. Beberapa kasus sudah terjadi dan saya yakin ini bukan hanya fitnah. Masyarakat pun sering mengalaminya,” ujar Abdul.
Abdul menambahkan bahwa potensi penyelewengan dalam praktik penegakan hukum perlu mendapat perhatian serius. “Di mana ada kekuasaan, di situlah ada potensi penyalahgunaan. Baik itu dalam penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan,” lanjutnya.
Untuk itu, Abdul mengusulkan agar dibentuk lembaga pengawas yang independen untuk mengawasi kinerja Kejaksaan secara lebih sistematis. “Lembaga pengawasan ini penting untuk memastikan bahwa kekuasaan yang ada tidak disalahgunakan, dan bahwa penegakan hukum tetap berjalan dengan adil,” tuturnya.
Reformasi Sistem Kejaksaan
Dialog ini mengungkapkan serangkaian masalah mendasar yang dihadapi Kejaksaan Republik Indonesia, mulai dari ketergantungan terhadap kekuasaan eksekutif, isu penggunaan senjata api oleh Jaksa, hingga potensi penyalahgunaan kewenangan seperti denda damai. Semua pembicara sepakat bahwa untuk mewujudkan Kejaksaan yang lebih profesional dan independen, diperlukan reformasi menyeluruh, mulai dari perubahan proses seleksi Jaksa Agung hingga pembentukan lembaga pengawasan yang efektif. Jika langkah-langkah ini diambil, diharapkan Kejaksaan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik, adil, dan bebas dari pengaruh politik.
(Mond)
#KejaksaanAgung #Nasional #Politik