Menanti Tuah Nasi Goreng: Simbol Diplomasi dan Persatuan Megawati-Prabowo
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) di kediaman Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019). |
Dirgantaraonline - "Katanya nasi goreng saya enak… Katanya… Untunglah kalau seorang perempuan, pemimpin, dan politisi, ada bagian yang sangat mudah meluluhkan hati laki-laki. Itu namanya politik nasi goreng," kata Megawati Soekarnoputri sambil tertawa, mengingat sebuah peristiwa yang kini menjadi legenda dalam dunia politik Indonesia.
Pernyataan tersebut menggambarkan kehangatan sederhana yang bisa menyelesaikan konflik besar. Pada 2019, Ketua Umum PDI Perjuangan itu berperan tak hanya sebagai pemimpin politik tetapi juga seorang "koki" di hadapan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Megawati menyuguhkan nasi goreng buatannya yang berhasil mencairkan ketegangan politik pasca-Pilpres 2019.
Pertemuan itu menjadi momen penting. Megawati, yang partainya memenangkan kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 melalui Joko Widodo, dan Prabowo, rivalnya di kedua ajang tersebut, akhirnya duduk bersama dalam suasana santai. Makanan sederhana ini menjadi katalis bagi rekonsiliasi mereka. Bahkan, satu bulan setelah pertemuan itu, Megawati secara khusus mengundang Prabowo ke Kongres ke-5 PDI Perjuangan di Bali.
"Iya lho, kan capek ya kalau disuruh namanya tempur terus. Ya sudahlah nanti tempur lagi di 2024. Siap?" kata Megawati sambil bercanda di hadapan Prabowo.
Namun, gurauan itu kini menjadi kenyataan. Pada Pemilu 2024, Megawati mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang harus berhadapan langsung dengan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka. Ironisnya, Gibran adalah anak sulung Jokowi yang kala itu masih menjadi kader PDI Perjuangan.
Nasi Goreng Sebagai Alat Diplomasi
Megawati dikenal kerap menggunakan pendekatan unik dalam berpolitik. "Politik nasi goreng" adalah salah satu contohnya—sebuah pendekatan diplomasi yang sederhana, namun penuh makna. Ini selaras dengan konsep gastrodiplomacy, atau diplomasi kuliner, yang memanfaatkan makanan sebagai alat untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dan menjembatani perbedaan.
Taktik ini tidak hanya digunakan Megawati dengan Prabowo, tetapi juga dengan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meski hubungan mereka kerap diwarnai perbedaan pendapat, nasi goreng sering menjadi jalan tengah.
“Biasanya kalau saya berantem dengan beliau, terus saya tidak mau ketemu. Tapi nanti Gus Dur pasti telepon, 'Mbak, lagi apa? Bikinkan saya nasi goreng ya, saya sudah di depan pintu rumah'," kenang Megawati, mengingat dinamika hubungannya dengan Gus Dur.
Tidak hanya Megawati, tokoh nasional lainnya seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo juga pernah menggunakan nasi goreng sebagai elemen diplomasi. Pada 2017, SBY menyajikan nasi goreng kepada Prabowo saat membahas RUU Pemilu. Begitu pula dengan Prabowo yang menyuguhkan hidangan serupa kepada Jokowi di Hambalang pada 2016.
Menghangatkan Relasi Megawati-Prabowo
Pasca-Pilpres 2024, wacana pertemuan Megawati dan Prabowo kembali mencuat. Hubungan kedua tokoh yang sebelumnya erat kini menghadapi tantangan akibat konstelasi politik yang melibatkan Jokowi. Dukungan Jokowi kepada Prabowo-Gibran membuat hubungan Jokowi dengan PDIP merenggang. Hingga awal 2025, pertemuan Megawati dan Prabowo belum terealisasi.
Namun, sinyal positif datang dari Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani. "Pak Prabowo sering bilang, masakan Ibu Megawati, terutama nasi gorengnya, sangat berkesan. Ada nasi goreng ikan asin, ayam, kambing. Saya berharap pertemuan mereka terjadi dalam waktu dekat," ujarnya.
Analis politik dari ISESS, Musfi Romdoni, menyebut narasi nasi goreng ini sebagai simbol politik tingkat tinggi. "Ini mengingatkan publik pada kebersamaan mereka di Pilpres 2009, ketika Prabowo dan Megawati memasak nasi goreng bersama. Gerindra tampaknya ingin menghidupkan kembali ingatan itu," katanya.
Menyusun Peta Politik Baru
Pertemuan ini tidak hanya soal silaturahmi tetapi juga strategi politik. Dengan PDIP sebagai partai terbesar di parlemen, bergabungnya mereka ke dalam koalisi Prabowo dapat mengubah peta kekuatan politik secara signifikan.
Wasisto Raharjo Jati, peneliti dari BRIN, melihat pertemuan pertama ini lebih pada rekonsiliasi personal. Namun, langkah strategis seperti masuknya PDIP ke kabinet bisa menjadi diskusi pada pertemuan selanjutnya.
“Saya kira Prabowo akan mencoba menjadi penengah antara Megawati dan Jokowi. Meski begitu, hubungan Prabowo dengan Jokowi tetap menjadi batasan penting,” tambahnya.
Peluang Koalisi 100 Persen
Jika PDIP benar-benar bergabung, koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran akan menguasai 100 persen kursi parlemen. Namun, ini tidak tanpa risiko. Internal PDIP mungkin menghadapi dinamika baru, terutama jika ada perbedaan pandangan antara Megawati dan Jokowi.
Megawati dan Prabowo kini berada di persimpangan. Akankah nasi goreng sekali lagi menjadi alat pemersatu? Atau justru simbol itu hanya tinggal kenangan? Di tengah ketidakpastian, satu hal yang jelas: nasi goreng Megawati bukan hanya sekadar makanan, tetapi simbol persatuan dan harapan bagi masa depan politik Indonesia.
(Mond)
#Politik #Nasional #MegawatiSoekarnoputri #PrabowoSubianto