Breaking News

Mengenal Filisida: Kejahatan Tragis Pembunuhan Anak oleh Orang Tua Sendiri

Ilustrasi 

Dirgantaraonline -
Kejahatan pembunuhan selalu menjadi topik yang menyesakkan, tetapi ada satu bentuk pembunuhan yang lebih sulit untuk dipahami: filisida. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, filius (anak laki-laki) atau filia (anak perempuan), dan cide (membunuh). Filisida merujuk pada tindakan pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak mereka sendiri. Kejahatan ini mengguncang hati, karena melibatkan pelaku yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber kasih sayang bagi korban.

Statistik Global tentang Filisida

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ribuan kasus filisida terjadi di berbagai negara setiap tahunnya. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, rata-rata ada lebih dari 500 kasus filisida per tahun. Di Indonesia, meskipun angka pastinya sulit ditemukan, berita tentang orang tua yang tega menghabisi nyawa anaknya sendiri sering muncul di media.

Filisida tidak mengenal batasan sosial, ekonomi, atau budaya. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kasus ini sering terjadi dalam keluarga dengan masalah mental, tekanan ekonomi, atau dinamika keluarga yang disfungsional.

Jenis-Jenis Filisida

Psikolog dan kriminolog membagi filisida ke dalam beberapa kategori berdasarkan motif dan kondisi psikologis pelaku:

  1. Filisida Altruistik
    Dalam kasus ini, pelaku percaya bahwa pembunuhan adalah tindakan "baik" bagi anak. Misalnya, seorang ibu yang depresi berat mungkin merasa bahwa anaknya lebih baik mati daripada hidup dalam penderitaan. Filisida altruistik sering dikaitkan dengan gangguan mental seperti depresi berat atau psikosis postpartum.

  2. Filisida Akibat Kekerasan
    Filisida jenis ini biasanya terjadi sebagai hasil dari kekerasan dalam rumah tangga yang berujung fatal. Pelaku seringkali tidak berniat membunuh anak, tetapi kekerasan yang dilakukan mengakibatkan kematian.

  3. Filisida Akibat Penolakan Anak
    Beberapa kasus melibatkan orang tua yang tidak menginginkan anak tersebut sejak awal, misalnya karena anak lahir di luar pernikahan, memiliki disabilitas, atau dianggap sebagai "beban."

  4. Filisida karena Balas Dendam
    Dalam kasus ini, pelaku menggunakan anak sebagai alat balas dendam terhadap pasangan. Misalnya, seorang ayah yang membunuh anak-anaknya untuk melukai ibu mereka secara emosional.

  5. Filisida Psikotik
    Pada kasus ini, pelaku menderita gangguan psikotik, seperti skizofrenia atau delusi, yang menyebabkan mereka kehilangan kontak dengan realitas dan melakukan tindakan yang tidak rasional.

Penyebab dan Faktor Pemicu

Filisida seringkali merupakan hasil dari kombinasi faktor-faktor kompleks, termasuk:

  • Gangguan Mental: Banyak pelaku filisida menderita gangguan mental, seperti depresi berat, bipolar, atau psikosis postpartum. Kondisi ini membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir rasional.
  • Tekanan Ekonomi: Kemiskinan ekstrem atau kesulitan ekonomi sering menjadi pemicu, terutama jika orang tua merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan anak.
  • Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Filisida sering terjadi dalam keluarga yang sudah memiliki riwayat kekerasan. Anak sering menjadi korban dari konflik yang lebih besar antara orang tua.
  • Isolasi Sosial: Kurangnya dukungan dari keluarga besar atau komunitas dapat memperburuk situasi, membuat orang tua merasa sendirian dan terjebak.

Dampak Psikologis bagi Masyarakat dan Keluarga yang Tersisa

Filisida tidak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga yang tersisa, tetapi juga mengguncang masyarakat. Kejahatan ini memicu berbagai pertanyaan moral, sosial, dan hukum. Mengapa seorang ibu atau ayah bisa melakukan hal tersebut? Apakah ada tanda-tanda yang diabaikan oleh lingkungan?

Trauma sering kali dirasakan oleh saudara kandung korban yang selamat, tetangga, hingga tenaga medis atau polisi yang pertama kali menemukan korban. Rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam sering kali mengakar pada orang-orang terdekat.

Kasus-Kasus Filisida yang Menggemparkan

Beberapa kasus filisida di Indonesia pernah menjadi sorotan, seperti kasus seorang ibu di Jakarta yang membunuh dua anaknya akibat tekanan ekonomi dan masalah rumah tangga. Di luar negeri, kasus Andrea Yates di Texas, Amerika Serikat, mengguncang dunia ketika ia menenggelamkan kelima anaknya di bak mandi pada tahun 2001 akibat psikosis postpartum.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa filisida bukanlah kejahatan biasa. Dalam banyak kasus, ada tragedi yang lebih besar di balik tindakan tersebut, seperti kegagalan sistem kesehatan mental, kurangnya dukungan sosial, dan tekanan hidup yang tak tertahankan.

Pencegahan Filisida: Langkah-Langkah yang Dapat Diambil

Mencegah filisida membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan individu, keluarga, dan pemerintah:

  1. Dukungan Kesehatan Mental: Sistem kesehatan harus memastikan bahwa orang tua, terutama ibu baru, mendapatkan akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau. Pemeriksaan rutin untuk mendeteksi depresi postpartum bisa menjadi langkah awal yang penting.

  2. Edukasi dan Konseling: Edukasi tentang pengasuhan anak, manajemen stres, dan hubungan keluarga harus menjadi bagian dari program masyarakat.

  3. Jaringan Dukungan Sosial: Komunitas dan keluarga besar harus dilibatkan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang tua yang menghadapi kesulitan.

  4. Intervensi Dini: Jika ada tanda-tanda kekerasan atau gangguan mental pada orang tua, intervensi dari tenaga profesional harus segera dilakukan untuk melindungi anak.

  5. Hukuman dan Rehabilitasi: Selain menghukum pelaku filisida, penting untuk memberikan rehabilitasi agar mereka memahami kesalahan mereka dan mencegah kasus serupa terjadi lagi.

Kesimpulan

Filisida adalah bentuk kejahatan yang mengguncang hati, tetapi di balik tragedi ini terdapat peluang untuk mencegahnya. Dengan meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, membangun jaringan dukungan yang kuat, dan mengatasi tekanan ekonomi serta sosial, kita dapat meminimalkan risiko filisida.

Kejahatan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa keluarga membutuhkan perhatian dan dukungan yang berkelanjutan. Dengan empati dan aksi nyata, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak, yang seharusnya hanya mengenal kasih sayang dari orang tua mereka.

(***)

#Filisida #Parenting