Nelayan JRP Bangun Pagar Laut 30 Km di Tangerang: Lawan Abrasi!
D'On, Tangerang - Di sepanjang pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten, sebuah pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer berdiri kokoh di tengah terpaan gelombang laut. Struktur sederhana namun penuh makna ini, dibangun oleh para nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP). Bagi mereka, pagar ini bukan sekadar tumpukan bambu, melainkan perisai alami yang mereka harapkan dapat melindungi garis pantai dari abrasi sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru.
Namun, di balik tujuan mulia tersebut, polemik muncul. Pembangunan pagar laut ini kini menjadi sorotan, tak hanya dari masyarakat tetapi juga dari pemerintah, terutama terkait legalitasnya. Apa sebenarnya yang terjadi di balik proyek swadaya ini?
Perjuangan Melawan Abrasi
Sandi Martapraja, Koordinator JRP, menjelaskan bahwa pagar bambu tersebut merupakan hasil jerih payah kolektif masyarakat pesisir yang mengandalkan gotong royong dan dana swadaya. Ia menyebut, keberadaan pagar bambu ini penting untuk mencegah kerusakan lebih jauh akibat abrasi.
"Wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang ini rentan terhadap abrasi. Setiap tahun, tanah di pesisir pantai terus tergerus oleh gelombang. Tanggul ini menjadi harapan kami untuk menjaga pantai tetap utuh," ujar Sandi ketika diwawancarai pada Sabtu (11/1/2025).
Pagar ini dirancang dengan ketinggian rata-rata enam meter. Di atas bambu-bambu yang ditancapkan di dasar laut, terdapat anyaman bambu dan paranet sebagai penghalang tambahan. Struktur ini diperkuat dengan karung berisi pasir agar tetap kokoh meski diterpa ombak tinggi. Selain itu, tanggul ini diharapkan bisa menjadi peredam gelombang besar yang sering kali mengancam wilayah pesisir.
Lebih dari Sekadar Perlindungan
Bagi masyarakat pesisir, pagar ini memiliki fungsi yang lebih luas. Selain melindungi garis pantai, area di sekitar pagar dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi seperti budidaya ikan dan kerang hijau.
Holid, salah seorang nelayan JRP, mengungkapkan bahwa pagar bambu ini telah membantu mereka meningkatkan taraf hidup. "Alhamdulillah, pagar ini mempermudah kami menangkap ikan. Tambak-tambak yang ada di dekatnya juga menghasilkan kerang hijau yang cukup untuk tambahan penghasilan keluarga," katanya.
Holid juga menambahkan bahwa struktur ini secara tidak langsung membantu memecah ombak besar, sehingga aktivitas melaut menjadi lebih aman. "Kami bisa lebih fokus bekerja karena tahu ada perlindungan ini," tuturnya.
Polemik Legalitas dan Tindakan Tegas Pemerintah
Meski memiliki manfaat besar bagi masyarakat, pagar bambu ini menuai kontroversi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan penyegelan terhadap proyek tersebut. Pasalnya, pagar laut sepanjang 30,16 kilometer ini dianggap tidak memiliki izin resmi berupa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Langkah penyegelan ini merupakan respons atas aduan dari sejumlah pihak dan instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga menegaskan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang laut harus mematuhi aturan tata ruang yang berlaku.
"Kami memahami niat masyarakat, tetapi setiap aktivitas di wilayah laut harus memiliki dasar hukum yang jelas. Kami tidak ingin terjadi pelanggaran yang bisa berdampak pada ekosistem atau konflik hukum di kemudian hari," ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten, Eli Susiyanti.
Proyek Swadaya yang Menantang Regulasi
Berdasarkan investigasi DKP Banten, pagar ini terbentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, mencakup 16 desa di enam kecamatan, yaitu Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Teluknaga. Struktur yang sederhana namun masif ini berdiri di tengah tantangan besar: bagaimana mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa melanggar regulasi?
Pemerintah daerah mengakui adanya manfaat sosial dan ekonomi dari pagar ini, tetapi mereka juga mengingatkan pentingnya pengelolaan yang berkelanjutan dan sesuai aturan. Jika dikelola dengan benar, pagar laut ini bisa menjadi model mitigasi bencana berbasis masyarakat yang dapat diterapkan di wilayah pesisir lain.
Masa Depan Pagar Laut Pantura
Bagi masyarakat JRP, pagar bambu ini adalah simbol perjuangan mereka melawan abrasi dan gelombang besar. Namun, keberlanjutan proyek ini bergantung pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan polemik legalitasnya.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah bijak, tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga memberikan pendampingan kepada masyarakat agar inisiatif seperti ini bisa berkembang tanpa melanggar hukum.
Pagar laut ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah gambaran dari bagaimana masyarakat lokal berjuang melindungi ekosistem mereka dengan sumber daya yang terbatas. Kini, nasib pagar bambu sepanjang 30 kilometer itu berada di persimpangan: akankah ia tetap berdiri sebagai simbol ketahanan, atau menjadi saksi bisu konflik regulasi?
(Mond)
#PagarLaut