Nusron Wahid Pastikan Sertifikasi HGB dan SHM Pagar Laut Banten, Isu Panas yang Memecah Perhatian Publik
D'On, Jakarta – Polemik terkait pagar laut di perairan Tangerang, Banten, semakin memanas setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, memberikan konfirmasi resmi mengenai status legalitasnya. Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Senin (20/1/2025), Nusron mengungkapkan bahwa pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tersebut telah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM), yang menjadi perbincangan hangat di media sosial maupun media massa.
“Kami membenarkan bahwa memang ada sertifikat yang terbit untuk wilayah pagar laut tersebut. Informasi ini sesuai dengan apa yang beredar di media sosial,” ujar Nusron, seperti dikutip dari Antara. Pernyataan ini menjawab keresahan publik yang mempertanyakan keabsahan penggunaan lahan di area perairan tersebut.
Ratusan Sertifikat HGB dan SHM Terbit
Nusron menjelaskan bahwa terdapat 263 bidang tanah yang telah bersertifikat HGB di wilayah tersebut. Dari jumlah itu, sebanyak 234 bidang terdaftar atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan sembilan bidang lainnya dimiliki oleh perorangan. Selain itu, ada pula 17 bidang tanah di kawasan tersebut yang telah memiliki status Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Data ini sudah kami verifikasi dengan aplikasi resmi kami, Bhumi (www.bhumi.atrbpn.go.id). Lokasinya sesuai, berada di Desa Kohot, Kecamatan Pakuaji, Kabupaten Tangerang,” tegas Nusron.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat yang ingin mengetahui pemilik dari perusahaan-perusahaan terkait dapat melakukan pengecekan lebih lanjut melalui Administrasi Hukum Umum (AHU) untuk mengakses akta pendirian perusahaan. “Jika ingin tahu siapa pemilik perseroan tersebut, silakan cek di AHU,” imbuhnya.
Polemik Pembongkaran oleh TNI AL
Isu pagar laut ini mencuat ke permukaan setelah sekitar 600 personel TNI Angkatan Laut (TNI AL) bersama nelayan setempat memulai pembongkaran pagar tersebut pada Sabtu (18/1/2025). Proses pembongkaran berlangsung dari garis pantai Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, hingga pesisir Pantai Kronjo, dengan target rampung dalam 10 hari.
Tindakan ini dilakukan sebagai respons atas protes dari masyarakat nelayan yang merasa terhalang dalam mengakses area perairan tersebut. Pagar laut yang sebelumnya berdiri kokoh telah dianggap membatasi kebebasan ruang laut dan mempengaruhi mata pencaharian nelayan tradisional.
Namun, langkah ini memicu polemik baru. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, meminta agar pagar laut tersebut tidak dibongkar. Menurutnya, pagar itu menjadi bagian dari bukti penting dalam penyidikan yang sedang berlangsung.
“Pagar tersebut adalah bukti dalam proses investigasi kami. Saya meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak melakukan pembongkaran,” ujar Sakti.
Akar Masalah yang Kompleks
Keberadaan pagar laut ini mengundang tanda tanya besar. Bagaimana sertifikasi HGB dan SHM bisa diterbitkan di area perairan yang seharusnya menjadi milik publik? Banyak pihak mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan terkait prosedur penerbitan sertifikat tersebut, terutama karena lokasinya berada di kawasan strategis yang bersinggungan dengan kehidupan masyarakat pesisir.
Dugaan pelanggaran administratif hingga konflik kepentingan pun mencuat, seiring dengan meningkatnya sorotan publik terhadap persoalan ini. Para pengamat hukum agraria juga mempertanyakan apakah sertifikasi tersebut telah melalui proses yang transparan dan akuntabel.
Sementara itu, nelayan setempat berharap pembongkaran pagar laut dapat memberikan mereka kembali akses yang selama ini terhalang. “Pagar ini sudah lama menjadi penghalang. Kami hanya ingin bisa melaut dengan bebas, tanpa halangan seperti ini,” kata seorang nelayan yang ikut serta dalam pembongkaran.
Menunggu Kepastian dari Pemerintah
Polemik pagar laut ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam menegakkan hukum agraria dan melindungi kepentingan masyarakat. Meskipun Nusron telah mengonfirmasi keabsahan sertifikat yang terbit, isu ini tampaknya masih jauh dari selesai.
Apakah sertifikasi tersebut memang sesuai prosedur atau justru melanggar aturan? Bagaimana pemerintah akan menyeimbangkan antara kepentingan perusahaan, masyarakat pesisir, dan penyelidikan hukum? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung, menunggu jawaban tegas dari pihak berwenang.
Polemik ini menjadi cerminan dari kompleksitas masalah agraria di Indonesia, di mana batas antara kepentingan publik dan swasta sering kali kabur. Masyarakat kini menanti langkah nyata pemerintah untuk menyelesaikan isu ini dengan adil dan transparan.
(Mond)
#PagarLaut #Viral #NusronWahid