Breaking News

Polemik RKA dan DPA Aceh Besar Belum Jelas, Wakil DPRK: Jaga Citra dan Persatuan!


D'On, Aceh Besar
– Ketidakpastian hukum terkait penandatanganan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) di Aceh Besar semakin menimbulkan polemik yang menghambat roda pemerintahan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Besar, Naisabur, angkat bicara dan meminta semua pihak untuk menahan diri dari narasi-narasi yang justru bisa memperburuk situasi.

Dalam pernyataannya pada Jumat, 31 Januari 2025, Naisabur menekankan bahwa Kabupaten Aceh Besar sedang menghadapi ketidakstabilan yang serius setelah diberhentikannya Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Besar pada 20 Desember 2024. Ia mengingatkan bahwa kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian hukum yang jelas, karena dampaknya bisa sangat luas, baik terhadap masyarakat maupun keberlangsungan pemerintahan.

"Kepentingan masyarakat Aceh Besar harus menjadi prioritas utama, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Situasi ini hanya bisa diselesaikan jika kita semua memiliki kepala dingin dan hati yang lapang," ujar Naisabur dengan nada tegas.

Pemerintahan Tersendat, Anggaran Tidak Bisa Dicairkan

Salah satu dampak paling nyata dari ketidakjelasan hukum ini adalah lumpuhnya fungsi pemerintahan. Hingga akhir Januari 2025, belum ada kepastian hukum mengenai siapa yang berwenang menandatangani RKA dan DPA, yang menjadi syarat mutlak bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mencairkan anggaran. Akibatnya, berbagai program pembangunan dan layanan publik yang bersifat esensial tertunda, menghambat kesejahteraan masyarakat dan efektivitas kerja aparatur sipil negara di Aceh Besar.

"Hari ini, 31 Januari 2025, kita masih belum mendapatkan kejelasan hukum. OPD tidak bisa mencairkan anggaran, program pemerintah terhenti, dan masyarakat dirugikan. Jika situasi ini terus berlanjut, dampaknya bisa semakin luas dan berbahaya bagi Aceh Besar," tambahnya.

Good Governance dan Clean Government Dikorbankan?

Dalam sistem pemerintahan yang ideal, konsep Good Governance (pemerintahan yang baik) dan Clean Government (pemerintahan yang bersih) harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan. Namun, dalam kondisi saat ini, prinsip-prinsip tersebut justru terancam oleh tarik-menarik kepentingan yang belum menemukan titik temu.

"Good Governance adalah kesepakatan antara pemerintah dan rakyat. Tidak boleh ada kepentingan kelompok yang mengorbankan prinsip ini," tegas Naisabur.

Untuk itu, ia mendesak Pj Bupati Aceh Besar agar segera mengambil langkah tegas dan konstruktif guna menghentikan polemik yang semakin berlarut-larut.

Solusi: Koordinasi dan Keputusan Tegas

Sebagai wakil rakyat, Naisabur mendorong agar eksekutif dan legislatif segera duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Ia menyarankan agar Pj Bupati Aceh Besar segera berkoordinasi dengan DPRK untuk mencapai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

"Kami di DPRK juga menjadi sasaran pertanyaan masyarakat. Mereka menuntut jawaban atas situasi ini, dan kami berkewajiban untuk memberikan kepastian. Oleh karena itu, kami meminta Pj Bupati untuk segera mengambil langkah nyata," tegasnya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya koordinasi dengan Gubernur Aceh sebagai pihak yang mengeluarkan SK pemberhentian Sekda Aceh Besar. Menurutnya, langkah ini krusial agar permasalahan ini tidak terus berlarut-larut dan semakin merugikan masyarakat.

Hentikan Narasi yang Memecah Belah

Di tengah ketidakpastian ini, Naisabur juga menyoroti maraknya narasi di media massa yang justru memperkeruh keadaan. Ia mengingatkan bahwa opini yang saling bertentangan bisa semakin memperdalam perpecahan di Aceh Besar, yang seharusnya bisa dihindari jika semua pihak menahan diri dan fokus pada solusi.

"Aceh Besar adalah rumah kita bersama. Jangan sampai kita terpecah-belah hanya karena kepentingan sesaat. Semua pihak harus berpikir jernih dan bertindak untuk kepentingan kolektif, bukan pribadi," ujarnya.

Menutup pernyataannya, Naisabur berharap agar semua pihak mendapat petunjuk dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan persoalan ini, sehingga roda pemerintahan bisa kembali berjalan normal demi kesejahteraan rakyat Aceh Besar.

"Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita semua agar kita bisa terus bekerja untuk kepentingan masyarakat. Aceh Besar harus tetap menjadi daerah yang maju, harmonis, dan bermartabat," pungkasnya.

Aceh Besar Butuh Kepastian, Bukan Polemik

Situasi ini menjadi ujian besar bagi kepemimpinan di Aceh Besar. Ketidakpastian hukum yang berkepanjangan bisa berujung pada stagnasi pemerintahan dan ketidakpercayaan publik. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus segera bertindak agar Aceh Besar tidak terjebak dalam pusaran konflik yang berkepanjangan. Keputusan yang cepat, tepat, dan berbasis hukum adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis ini.

(*)

#AcehBesar #DPRK