Breaking News

Saat Petani Mencuri Demi Perut: Mengapa Lima Potong Kayu Bisa Berujung 5 Tahun Penjara?

Seorang pria asal Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul berinisial M (44) terancam lima tahun penjara lantaran mencuri lima potong kayu sono brith di hutan negara di Paliyan. Foto: Dok. Istimewa

D'On, Gunungkidul
Di balik deretan pohon sono brith yang menjulang di hutan negara Paliyan, tersimpan kisah pilu seorang petani bernama M (44). Pria asal Kapanewon Panggang, Gunungkidul, ini kini menghadapi ancaman hukuman lima tahun penjara. Tuduhannya? M mencuri lima potong kayu dari kawasan hutan tersebut. Alasannya sederhana, namun menyesakkan: demi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, harapan M untuk mendapatkan penyelesaian lewat pendekatan restorative justice kandas di tengah jalan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa seorang petani yang mengaku baru pertama kali mencuri harus menghadapi ancaman hukum yang begitu berat? Berikut adalah kisah lengkapnya.

Detik-Detik Penangkapan M di Tengah Hutan

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 Desember sekitar pukul 18.00 WIB. Ketika sebagian besar orang menikmati suasana Natal, M mengambil langkah yang ia tahu berisiko. Dengan membawa gergaji tangan dan sabit, ia menyelinap ke hutan negara Paliyan. Tujuannya: memotong beberapa batang kayu sono brith yang kemudian ia rencanakan untuk dijual.

Namun, nasib berkata lain. Ketika ia bersiap membawa hasil potongannya, petugas patroli kehutanan memergokinya. M yang tak bisa mengelak akhirnya diamankan bersama barang bukti berupa:

  • Lima potong kayu sono brith, masing-masing berukuran panjang sekitar 65–68 cm dan diameter 23–28 cm.
  • Satu gergaji tangan, sabit, meteran, dan tas yang ia gunakan dalam aksinya.

Kapolsek Paliyan, AKP Ismanto, menjelaskan bahwa lima potong kayu itu berasal dari hutan negara yang diawasi ketat. “Setelah dicek, barang bukti berupa lima potongan kayu sono brith sudah kami amankan,” ujarnya. M pun dibawa ke Polsek Paliyan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

Alasan di Balik Tindakan M

Saat diinterogasi, M mengaku bahwa ini adalah kali pertama ia mencuri kayu. Motivasinya bukan untuk kepentingan pribadi yang mewah, melainkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Sebagai seorang petani, penghasilannya sering kali tak mencukupi, terutama saat musim paceklik. “Pengakuannya, kayu itu akan dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata AKP Suranto, Kasi Humas Polres Gunungkidul.

Namun, meski alasan M terdengar mengiris hati, hukum tetap berjalan. Sebagai pelapor, pihak Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta menolak untuk melakukan pendekatan restorative justice.

Peluang Restorative Justice yang Pupus

Restorative justice adalah pendekatan yang lebih mengedepankan penyelesaian masalah melalui mediasi dan pembinaan, bukan hukuman berat. Namun, dalam kasus ini, peluang tersebut tak lagi ada. Kepala Balai KPH Yogyakarta, Sabam Benedictus Silalahi, menegaskan bahwa kebijakan untuk memproses hukum pencurian kayu telah diputuskan sejak lama.

“Kami sudah sering mengingatkan masyarakat. Jika ada yang tertangkap mencuri kayu, maka proses hukum akan dijalankan tanpa pandang bulu,” ujar Sabam yang akrab disapa Beny.

Ia menjelaskan, pihak kehutanan sebenarnya telah melakukan berbagai upaya persuasif. Bersama pihak kepolisian, mereka rutin mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Sayangnya, tindakan persuasif itu dinilai tidak memberikan efek jera.

“Dulu, pelaku pencurian hanya dikenai wajib lapor dan pembinaan. Tapi ternyata, pencurian tetap terjadi. Maka, kami sepakat untuk membawa kasus seperti ini ke ranah hukum agar ada efek jera,” jelasnya.

Dilema Keadilan: Hukum atau Kemanusiaan?

Kasus ini menimbulkan perdebatan di masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa tindakan M, meskipun salah, seharusnya dipandang dari sisi kemanusiaan. Kondisinya yang terdesak kebutuhan ekonomi dianggap layak mendapatkan pendekatan yang lebih bijaksana.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa memaafkan tindakan seperti ini justru akan membuka peluang bagi pelanggaran serupa. Apalagi, kerusakan hutan akibat pencurian kayu tak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.

Akhir yang Masih Tanda Tanya

Hingga kini, nasib M masih berada di tangan proses hukum. Jika terbukti bersalah, ia dapat dijerat Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

Kisah M adalah pengingat bahwa di balik angka-angka statistik kejahatan, ada manusia dengan cerita hidup yang kompleks. Apakah keadilan hanya soal menegakkan hukum, ataukah juga tentang mendengar jeritan hati mereka yang terpinggirkan? Jawabannya mungkin tak sesederhana hitam dan putih.

(Mond)

#Pencurian #Hukum #PetaniCuriKayu