Breaking News

Sertifikat di Laut Tangerang Diterbitkan 2022-2023: Mayoritas Cacat Prosedur, Pantai Sebagai Common Property Dipertaruhkan

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid di Kantor Kementerian ATR/BPN, Rabu (15/1).

D'On, Tangerang
Dalam sebuah temuan yang mengejutkan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa mayoritas sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan di kawasan laut Tangerang, Banten, pada tahun 2022-2023 diduga kuat cacat prosedur dan material. Temuan ini mengangkat persoalan serius terkait kepemilikan lahan di kawasan yang seharusnya berstatus sebagai common property, yaitu milik bersama.

“Pantai itu adalah common property, tidak boleh menjadi private property. Bahkan jika itu berupa tanah, statusnya tetap milik publik. Apalagi kalau kita berbicara soal kawasan yang bukan daratan seperti ini. Ini jelas-jelas melanggar hukum dan asas keadilan publik,” tegas Nusron dalam konferensi pers di Pos TNI Tanjung Pasir, Tangerang, Rabu (22/1).

Pernyataan Nusron menyoroti permasalahan yang lebih besar terkait pengelolaan sumber daya publik di wilayah pesisir, yang kerap kali menjadi sasaran eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau komersial. Sertifikat-sertifikat yang diterbitkan tersebut tidak hanya melanggar garis hukum, tetapi juga memicu pertanyaan tentang integritas sistem penerbitan sertifikat tanah di kawasan ini.

Dasar Hukum dan Potensi Pembatalan Sertifikat

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, Kementerian ATR/BPN memiliki kewenangan penuh untuk membatalkan sertifikat yang cacat hukum tanpa perlu melalui proses pengadilan, selama usia sertifikat tersebut kurang dari lima tahun. Dengan mayoritas sertifikat yang diterbitkan pada 2022-2023, Nusron memastikan bahwa seluruh sertifikat tersebut dapat dibatalkan secara administratif.

“Jika sertifikat berusia lebih dari lima tahun, proses pembatalan harus melalui pengadilan. Namun, karena sebagian besar kasus ini baru berusia kurang dari lima tahun, kami bisa langsung mengambil tindakan. Ini langkah untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak masyarakat atas pantai yang seharusnya menjadi milik publik,” jelas Nusron.

Langkah pembatalan ini juga didukung oleh proses pencocokan data sertifikat dengan peta garis pantai dan data geospasial. Dalam proses ini, ditemukan bahwa beberapa sertifikat secara nyata berada di luar garis pantai, yang menurut hukum tidak dapat disertifikasi karena termasuk dalam kawasan publik.

Proses Investigasi dan Akuntabilitas Pejabat Terkait

Tak berhenti pada pembatalan sertifikat, Nusron juga mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan sertifikat tersebut kini berada dalam pengawasan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Pihak-pihak ini mencakup juru ukur hingga pejabat yang menandatangani dokumen-dokumen yang memungkinkan terbitnya sertifikat di kawasan yang secara hukum tidak memenuhi syarat.

“Kami sedang memastikan setiap pelanggaran ini tidak hanya dihentikan, tetapi juga diberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami untuk memperbaiki sistem yang selama ini memungkinkan praktik-praktik seperti ini terjadi,” ungkap Nusron.

Imbas Bagi Masyarakat dan Ekosistem Pesisir

Kasus ini tidak hanya menyentuh ranah hukum administratif, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat sekitar dan ekosistem pesisir. Pantai yang seharusnya menjadi akses publik kini berpotensi kehilangan fungsinya akibat alih status menjadi properti pribadi. Hal ini juga memengaruhi kelestarian ekosistem laut, yang sering kali terabaikan dalam pengembangan properti di wilayah pesisir.

Menurut pengamat lingkungan, langkah tegas Kementerian ATR/BPN ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. “Pantai bukan hanya soal tanah atau air, tetapi juga kehidupan. Kehilangan akses ke pantai sama dengan merampas hak generasi mendatang untuk menikmati warisan alam yang tak tergantikan,” ujar seorang aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya.

Langkah Selanjutnya

Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk terus memverifikasi dan membatalkan sertifikat-sertifikat yang cacat prosedur, sekaligus memperbaiki mekanisme penerbitan sertifikat di masa depan. Nusron Wahid juga meminta masyarakat untuk proaktif melaporkan jika menemukan indikasi pelanggaran serupa di wilayah lain.

Kasus ini menjadi pengingat penting tentang bagaimana pengelolaan kawasan publik harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan transparansi. Tidak hanya untuk melindungi hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa sumber daya publik tetap menjadi milik bersama, bukan monopoli segelintir pihak.

(Mond)

#KementerianATR #Viral #PagarLaut #NusronWahid