Breaking News

Tragedi Kayu di Gunungkidul: Ketika 'Urusan Perut' Mempertemukan Hukum dan Kemanusiaan

Kapolda DIY Irjen Pol Suwondo Nainggolan, Jumat (19/7).

D'On, Gunungkidul 
- Di tengah lanskap perbukitan kapur Gunungkidul yang tenang, sebuah cerita sederhana tentang seorang petani berusia 44 tahun, sebut saja M, menggugah perhatian publik. Kasus pencurian lima potong kayu sonobrit di hutan negara Paliyan mengingatkan kita akan pergulatan sehari-hari antara kebutuhan hidup dan ketegasan hukum.

M, seorang warga Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, awalnya terancam menghadapi hukuman lima tahun penjara. Namun, di balik ancaman itu, ada cerita yang lebih dalam—cerita tentang upaya mempertahankan hidup, desakan "urusan perut," dan pertemuan antara hukum dengan sisi kemanusiaan.

Awal Mula Kasus: Antara Hukum dan Keinginan Efek Jera

Kasus ini bermula dari laporan Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Yogyakarta. Mereka menemukan M mencuri kayu di kawasan hutan Paliyan, sebuah area konservasi yang menjadi sumber daya penting bagi kelestarian lingkungan setempat. BKPH memutuskan melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian, berharap memberikan efek jera kepada pelaku.

“Ini bukan pertama kali terjadi. Kami ingin memberikan pelajaran kepada masyarakat agar hutan tetap terjaga,” ujar perwakilan BKPH seperti dikutip Kapolres Gunungkidul, AKBP Ary Murtini.

Namun, di balik ketegasan itu, muncul suara lain dari pihak kepolisian. Kapolsek Paliyan, AKP Ismanto, telah mencoba mengimbau BKPH agar menyelesaikan kasus ini dengan cara kekeluargaan melalui pendekatan restorative justice. Upaya awal ini menemui jalan buntu karena BKPH bersikukuh ingin melanjutkan kasus ke meja hukum.

Kisah M dan Alasan di Balik Pencurian

Bagi M, mencuri bukanlah pilihan, melainkan jalan terakhir. Lima potong kayu yang ia ambil dari hutan negara itu bukan untuk memperkaya diri. Kayu tersebut rencananya digunakan untuk keperluan rumah tangga, demi menopang kehidupan sehari-hari keluarganya yang hidup dalam keterbatasan.

M adalah representasi banyak petani kecil di pelosok Indonesia yang kerap menghadapi dilema antara memenuhi kebutuhan dasar dan mematuhi aturan. Di sinilah letak ironi kehidupan. Ketika kekurangan memaksa, hukum sering kali menjadi tembok yang terasa kaku dan jauh dari empati.

Upaya Damai: Kepolisian Berperan Aktif

Meski BKPH awalnya tegas, pihak kepolisian tidak menyerah. Mereka terus meyakinkan pelapor agar mempertimbangkan penyelesaian secara kekeluargaan. Pendekatan ini akhirnya membuahkan hasil, terutama setelah keluarga M memberikan jaminan moral. Istri, adik, serta perangkat desa turun tangan menjadi penjamin, meyakinkan bahwa tindakan M tidak akan terulang.

“Kami melihat alamat pelaku jelas, ada dukungan dari keluarga, dan perangkat desa juga bersedia menjamin. Jadi, mengapa tidak kita selesaikan dengan restorative justice?” jelas AKBP Ary Murtini.

Setelah berbagai diskusi intensif, pihak BKPH luluh. Mereka setuju untuk mencabut laporan dan menyelesaikan kasus ini secara damai. Pukul 02.00 WIB pagi tadi, M akhirnya dipulangkan ke rumahnya, bebas dari ancaman hukuman penjara.

Restorative Justice: Kemenangan Kemanusiaan

Restorative justice, pendekatan yang semakin digalakkan dalam sistem hukum Indonesia, memberikan secercah harapan bagi kasus-kasus seperti ini. Tidak hanya mengutamakan pemulihan kerugian, tetapi juga memberikan kesempatan kedua bagi pelaku untuk memperbaiki diri.

Kapolda DIY, Irjen Suwondo Nainggolan, mengapresiasi langkah damai ini. "Kasus ini sudah diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Kita ingin hukum tetap humanis, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kebutuhan hidup mendesak,” ujarnya kepada wartawan.

Pelajaran dari Kasus M

Kisah M adalah pengingat bahwa di balik angka-angka kasus pidana, ada manusia dengan cerita dan perjuangannya sendiri. Dalam ketegasan hukum, ada ruang untuk kemanusiaan. Kasus ini menyoroti pentingnya memahami konteks sosial dan ekonomi yang melingkupi pelaku sebelum memberikan hukuman.

Gunungkidul, dengan segala keindahannya, adalah rumah bagi banyak orang seperti M—orang-orang yang bekerja keras melawan keterbatasan. Dan di sinilah hukum perlu bersikap bijaksana, memastikan keadilan tidak hanya menjadi milik mereka yang kuat, tetapi juga mereka yang terpinggirkan.

Kasus ini mungkin telah berakhir, tetapi pelajarannya akan terus bergema: bahwa kemanusiaan dan hukum dapat berjalan beriringan, menciptakan keadilan yang tidak hanya adil, tetapi juga bermartabat.

(Mond)

#Hukum #Pencurian #PetaniCuriKayu