3 Prajurit TNI Didakwa Pembunuhan dalam Kasus Penembakan Bos Rental
Tiga oknum TNI pelaku penembakan bos rental menjalani sidang di Pengadilan Militer Jakarta, Senin (10/2/2025).
D'On, Jakarta – Malam itu, di sebuah rest area Tol Jakarta-Merak, ketegangan memuncak. Ilyas Abdul Rahman, seorang pengusaha rental mobil berusia 48 tahun, datang dengan satu tujuan: merebut kembali haknya. Mobil rental yang ia sewakan ternyata telah berpindah tangan secara ilegal, dan pencariannya berujung pada pertemuan mematikan. Yang tak ia duga, perjalanan itu bukan sekadar misi mencari kendaraan—melainkan tiket satu arah menuju ajalnya.
Tiga prajurit TNI Angkatan Laut kini duduk di kursi pesakitan. Mereka bukan sekadar pelaku biasa, melainkan figur militer yang seharusnya menjunjung tinggi hukum, namun malah terjerat dalam skenario mengerikan yang berujung pada pembunuhan.
Dakwaan Berat di Meja Hijau
Senin (10/2), Pengadilan Militer II-08 Jakarta menjadi saksi awal dari babak baru kasus ini. Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo, Sertu Akbar Adli, dan Sertu Rafsin Hermawan menghadapi sidang dakwaan. Mayor Gori Rambe, Oditur Militer, dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan mereka memenuhi unsur-unsur tindak pidana berat.
Kelasi Kepala Bambang dan Sertu Akbar kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atas dugaan pembunuhan berencana. Mereka didakwa melanggar Pasal 340 Subsider Pasal 338 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, dengan tambahan jeratan hukum lain: Pasal 480 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP terkait penadahan.
Sementara itu, Sertu Rafsin Hermawan menghadapi dakwaan yang lebih ringan, tetapi tetap serius. Ia dijerat dengan Pasal 480 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, yang berarti terlibat dalam tindakan penadahan barang hasil kejahatan.
Namun, kisah ini tidak hanya melibatkan militer. Di luar institusi TNI AL, dua pelaku sipil juga masuk dalam pusaran hukum. Ajat Supriatna (32 tahun) dan seorang yang diidentifikasi sebagai I, turut memainkan peran dalam lingkaran gelap yang membawa maut ini.
Benang Kusut Perdagangan Mobil dan Jejak yang Menghilang
Awal dari tragedi ini bermula ketika Ajat Supriatna menyewa sebuah mobil dari Ilyas Abdul Rahman. Namun, alih-alih menggunakan kendaraan tersebut sebagaimana mestinya, Ajat malah menyerahkannya kepada sosok berinisial I.
Dari tangan I, mobil itu kembali berpindah, dijual secara ilegal hingga akhirnya jatuh ke tangan anggota TNI AL. Transaksi yang seharusnya menjadi sekadar jual beli kendaraan, berubah menjadi rantai kejahatan yang lebih gelap.
Ketika Ilyas menyadari mobilnya menghilang, ia bergegas melakukan pencarian. Dengan bantuan GPS yang terpasang di mobil, ia berhasil melacak keberadaan kendaraan itu. Namun, para pelaku tampaknya sudah mengantisipasi langkahnya. GPS dicabut, meninggalkan sedikit jejak bagi pemilik aslinya.
Namun, Ilyas tak menyerah. Bersama rekannya, RAB, ia berhasil menelusuri petunjuk yang tersisa hingga akhirnya menemukan mobil itu berada di rest area Tol Jakarta-Merak. Di situlah, kisah ini berubah menjadi sebuah tragedi yang tak bisa dihindari.
Darah dan Peluru di Rest Area
Saat Ilyas berusaha merebut kembali mobilnya, situasi mendadak menjadi tegang. Bentrokan terjadi, dan tiba-tiba letusan senjata api memecah keheningan malam.
Tangan yang menarik pelatuk adalah Kelasi Kepala Bambang. Senjata yang digunakan? Sebuah pistol milik Sertu Akbar, ajudan yang memiliki akses terhadap persenjataan.
Dada Ilyas menjadi sasaran. Satu peluru, satu nyawa melayang. Tubuhnya roboh, nyawanya meregang di tempat yang seharusnya menjadi lokasi istirahat bagi para pelancong.
Tak hanya Ilyas, rekannya RAB juga terkena tembakan. Beruntung, ia masih hidup, meski luka serius yang dideritanya menjadi saksi bisu atas kekejaman malam itu.
Keberingasan, Penyesalan, dan Jalan Panjang Keadilan
Kini, tiga prajurit TNI AL itu menghadapi proses hukum yang tidak ringan. Sidang mereka akan menjadi ujian bagi sistem peradilan militer: apakah hukum benar-benar akan ditegakkan secara adil, atau ada celah yang memungkinkan mereka lolos dari hukuman berat?
Sementara itu, keluarga Ilyas Abdul Rahman harus menanggung kepedihan yang tak terbayangkan. Seorang suami, ayah, dan pengusaha yang hanya ingin mengambil kembali haknya, kini tak akan pernah pulang.
Rest area yang biasanya hanya menjadi tempat singgah kini menyimpan kisah kelam. Malam itu, bukan hanya mobil yang menjadi rebutan—tetapi juga nyawa.