DPR Ketok Revisi Tatib! Kini Bisa Evaluasi Pimpinan KPK hingga Hakim MK
DPR RI) |
D'On, Jakarta, 4 Februari 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi menyetujui revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, dan membawa perubahan signifikan terhadap mekanisme pengawasan DPR terhadap pejabat publik yang sebelumnya telah melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Revisi ini memungkinkan DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat publik yang telah disahkan melalui Rapat Paripurna, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini dinilai sebagai upaya memperkuat fungsi pengawasan parlemen terhadap pejabat negara, memastikan akuntabilitas, serta menjaga integritas lembaga tinggi negara.
Persetujuan Rapat Paripurna: Sorotan Perubahan Tatib DPR
Dalam sidang paripurna, Wakil Ketua DPR Adies Kadir memimpin jalannya pengambilan keputusan terhadap revisi aturan ini.
"Tiba lah saatnya kami minta persetujuan fraksi-fraksi terhadap hasil pembahasan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, apakah dapat disetujui?" ujar Adies Kadir di hadapan anggota dewan.
Serempak, suara anggota DPR yang hadir menjawab: "Setuju!".
Dukungan penuh dari seluruh fraksi ini menandakan bahwa langkah ini telah melalui pembahasan matang di tingkat legislatif. Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sturman Panjaitan, menjelaskan bahwa revisi ini adalah hasil penugasan Pimpinan DPR dan telah dibahas dalam Rapat Baleg pada Senin, 3 Februari 2025. Dalam rapat tersebut, seluruh fraksi menyatakan persetujuannya terhadap rancangan perubahan tata tertib ini setelah mendengarkan pandangan mini fraksi.
Pasal Baru: DPR Bisa Evaluasi Pejabat Publik Secara Berkala
Perubahan kunci dalam revisi ini adalah penyisipan Pasal 228A yang berisi ketentuan baru terkait evaluasi pejabat publik oleh DPR.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi:
"Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR."
Sementara itu, Pasal 228A ayat (2) menyatakan:
"Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku."
Ketentuan ini memberikan kekuatan hukum bagi DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah disetujui melalui Rapat Paripurna. Artinya, meskipun seorang pejabat telah lolos uji kelayakan dan kepatutan, DPR tetap memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan dan menilai kinerjanya dalam jangka waktu tertentu.
Implikasi dan Dampak: Pengawasan Lebih Ketat terhadap Pejabat Negara
Dengan adanya pasal baru ini, DPR kini memiliki kendali lebih besar dalam memastikan bahwa pejabat publik yang mereka pilih tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Pimpinan KPK, hakim MK, dan pejabat lain yang ditetapkan melalui fit and proper test kini berada dalam radar pengawasan DPR, yang berhak mengevaluasi dan bahkan berpotensi memberi rekomendasi atas kelanjutan jabatan mereka.
Langkah ini menuai beragam reaksi dari berbagai pihak. Para pendukung kebijakan ini menilai bahwa pengawasan berkala dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta memastikan bahwa pejabat negara tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan, etika, dan kepatuhan hukum.
Namun, di sisi lain, ada pula yang mempertanyakan potensi politisasi dalam evaluasi berkala ini. Beberapa pengamat menilai bahwa revisi ini bisa saja dijadikan alat tekanan politik terhadap pejabat yang sedang menjabat, terutama yang berani mengambil langkah-langkah kontroversial dalam menjalankan tugasnya.
Babak Baru dalam Politik Indonesia
Keputusan DPR ini menandai babak baru dalam dinamika politik dan pengawasan di Indonesia. Dengan diberlakukannya evaluasi berkala, para pejabat yang telah melewati uji kelayakan dan kepatutan kini tidak hanya dituntut untuk memiliki rekam jejak yang baik saat dilantik, tetapi juga harus menjaga performa dan integritas mereka selama masa jabatan.
Langkah ini menunjukkan bahwa DPR berusaha untuk lebih aktif dalam menjalankan fungsi pengawasannya, sekaligus menegaskan bahwa jabatan publik bukan sekadar posisi yang diberikan sekali dan tidak dapat diganggu gugat.
Apakah revisi ini akan memperkuat demokrasi dan akuntabilitas? Ataukah justru menjadi alat politik baru bagi DPR dalam menekan pejabat negara? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
(Mond)
#DPR #MahkamahKonstitusi #KPK #Nasional