Dramatisasi Penangkapan 11 Warga Padarincang: Antara Penegakan Hukum dan Dugaan Kesewenang-wenangan
Ilustrasi
D'On, Serang – Suasana malam yang tenang di Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, mendadak berubah mencekam. Puluhan anggota kepolisian dari Polda Banten menyerbu pemukiman warga dalam operasi penangkapan sebelas orang yang dituduh melakukan penghasutan, pengeroyokan, dan pembakaran peternakan ayam milik PT Sinar Ternak Sejahtera. Namun, cara penangkapan yang dilakukan polisi menuai gelombang kritik dan tudingan pelanggaran hak asasi manusia.
Drama Penangkapan: Penggerebekan di Tengah Malam
Jumat (7/2) dini hari, ketika sebagian besar warga masih terlelap dalam tidur, suara langkah berat dan ketukan keras di pintu-pintu rumah warga mengejutkan banyak orang. Tanpa banyak penjelasan, sejumlah polisi disebut merangsek masuk, mendobrak pintu tanpa surat tugas yang diperlihatkan, dan menangkap 11 warga yang dituding sebagai dalang aksi perusakan serta pembakaran peternakan ayam.
Bahkan, menurut laporan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), beberapa polisi bersenjata lengkap sempat menodongkan senjata api kepada warga yang mencoba mempertanyakan alasan penangkapan. “Tidak ada surat tugas, tidak ada penjelasan yang memadai. Warga hanya melihat rumah-rumah mereka digedor, sanak saudara mereka digelandang pergi, bahkan santri di pondok pesantren pun ikut ditangkap,” ungkap perwakilan TAUD dalam keterangannya, Senin (10/2).
Dugaan Kekerasan dan Penutupan Akses Bantuan Hukum
Selain cara penangkapan yang dinilai represif, TAUD juga menuding Polda Banten menghalangi akses hukum bagi warga yang ditangkap. Keluarga para tersangka mengaku kesulitan menemui kerabat mereka yang kini berada dalam tahanan kepolisian. Upaya advokat untuk mendampingi pun disebut-sebut dipersulit.
“Ini bukan sekadar penangkapan, ini intimidasi. Polisi tidak hanya menangkap, tetapi juga menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat,” kata salah satu pendamping hukum dari TAUD.
Tudingan Penghasutan dan Pembakaran
Sementara itu, Polda Banten membantah keras tuduhan kesewenang-wenangan dalam penangkapan ini. Melalui Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Kombes Pol Dian Setyawan, pihak kepolisian menegaskan bahwa 11 warga tersebut bukan korban, melainkan pelaku tindak pidana yang telah direncanakan.
“Salah satu tersangka, yakni DKK, mengajak dan mengumpulkan masyarakat untuk melakukan perusakan serta pembakaran di PT Sinar Ternak Sejahtera. Modusnya adalah menghancurkan fasilitas peternakan agar perusahaan tidak bisa lagi beroperasi di wilayah tersebut,” ujar Kombes Dian pada Selasa (11/2).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan), Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), serta Pasal 187 KUHP (pembakaran) dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara.
Konflik Lama dan Api Perlawanan Warga
Kasus ini bukan sekadar tindak pidana biasa. PT Sinar Ternak Sejahtera telah lama menjadi sumber konflik di wilayah Padarincang. Sejumlah warga mengklaim bahwa keberadaan peternakan ayam tersebut membawa dampak lingkungan yang merugikan, seperti pencemaran udara akibat bau menyengat dan potensi limbah yang mencemari air tanah.
Dalam beberapa kesempatan, warga telah melakukan protes dan audiensi dengan pemerintah setempat. Namun, tuntutan mereka agar peternakan tersebut ditutup tak kunjung digubris. Ini menambah kemarahan masyarakat, yang akhirnya meledak menjadi aksi perusakan dan pembakaran.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa aksi tersebut adalah bentuk puncak kekecewaan warga terhadap perusahaan yang dianggap abai terhadap lingkungan. “Kami sudah protes berkali-kali, tapi tidak ada solusi. Mereka hanya memikirkan bisnis, tidak peduli dengan kami yang setiap hari harus menghirup bau busuk,” ujarnya.
Benturan Kepentingan: Siapa yang Benar?
Kasus ini semakin kompleks dengan adanya klaim pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat, serta dugaan bahwa tindakan hukum yang dilakukan Polda Banten lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang melindungi warga.
Apakah benar 11 warga ini merupakan provokator yang sengaja menghancurkan peternakan? Ataukah mereka hanyalah masyarakat yang berusaha mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang sehat, namun dihadapi dengan kekuatan hukum yang berat sebelah?
Yang jelas, kasus ini tidak hanya berbicara soal tindakan kriminal, tetapi juga konflik agraria, hak asasi manusia, dan pertarungan kepentingan antara warga dan korporasi. Bagaimana akhir dari drama ini? Akankah keadilan berpihak pada yang benar, atau justru akan menjadi catatan kelam dalam sejarah konflik antara rakyat kecil dan kekuatan modal?
Kita tunggu babak selanjutnya.
(Mond)
#Hukum #Provokotor #Pembakaran