Breaking News

Eks ASN Kemenperin Dilaporkan ke Bareskrim: Misteri SPK Fiktif yang Merugikan Negara

Gedung baru Bareskrim Polri.

D'On, Jakarta
– Sebuah drama hukum tengah berlangsung di ranah birokrasi Indonesia. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akhirnya mengambil langkah tegas dengan melaporkan mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial LHS ke Bareskrim Polri pada Rabu (12/2). LHS diduga menjadi dalang di balik skandal Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif yang mengguncang Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi pada periode 2023–2024.

Pelaporan ini bukan sekadar formalitas. Laporan Kemenperin telah resmi diterima dan terdaftar dengan nomor STTL /73/II/2025/BARESKRIM, menandakan keseriusan kementerian dalam menuntaskan dugaan kejahatan ini.

“Kami menepati janji untuk menyerahkan laporan ini ke Bareskrim. Kami percaya dan mendukung penuh aparat penegak hukum untuk segera mengungkap kasus ini,” tegas Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, di Mabes Polri.

Laporan ini menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan wewenang di kalangan ASN, yang kembali menjadi sorotan publik karena berpotensi merugikan negara dan mengganggu integritas birokrasi.


Dugaan Pemalsuan Dokumen dan Penyalahgunaan Wewenang

Dalam laporannya, Kemenperin menjerat LHS dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP, yang mengatur penggunaan surat palsu yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Pasal ini menegaskan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menggunakan dokumen palsu seolah-olah asli dan menyebabkan kerugian dapat dijerat hukum.

“Kami melaporkan LHS atas dugaan pemalsuan dokumen berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP. Ia telah menyalahgunakan otoritasnya sehingga menimbulkan kerugian bagi Kemenperin, seolah-olah surat yang diterbitkan tersebut sah dan merupakan tanggung jawab kementerian,” ujar Febri.

Tak hanya itu, LHS juga diduga melanggar Pasal 421 KUHP, yang mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pasal tersebut, seorang pejabat yang dengan sengaja menggunakan kekuasaannya untuk memaksa pihak lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu dapat dipidana.

Langkah Kemenperin ini mencerminkan sikap tegas pemerintah dalam menindak perilaku koruptif di lingkungan kementerian dan lembaga negara.

Siapa LHS dan Bagaimana Skandal Ini Terungkap?

LHS bukan sosok sembarangan. Ia pernah menduduki posisi strategis sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemenperin, yang memberinya kewenangan dalam pengelolaan anggaran dan proyek. Namun, kepercayaan yang diberikan kepadanya justru disalahgunakan.

Seiring dengan mencuatnya dugaan penerbitan SPK fiktif, Kemenperin langsung bertindak dengan mencopot LHS dari jabatannya. Namun, situasi menjadi semakin pelik ketika penyelidikan mengungkap bahwa LHS tidak hanya terlibat dalam pemalsuan dokumen, tetapi juga terkait dengan berbagai tindak pidana lainnya, termasuk penipuan, penggelapan, dan pencucian uang.

Kondisi ini memaksa kepolisian menetapkan LHS sebagai tersangka dan memasukkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan kata lain, mantan pejabat Kemenperin ini kini menjadi buronan yang tengah diburu oleh aparat penegak hukum.

Dampak Finansial dan Keputusan Tegas Kemenperin

Salah satu dampak paling mencolok dari skandal ini adalah potensi kerugian yang dialami para vendor. Sejumlah perusahaan diketahui telah memberikan dana kepada LHS atau menjalankan proyek berdasarkan SPK yang ternyata fiktif. Namun, Kemenperin dengan tegas menyatakan tidak akan bertanggung jawab atas pembayaran dana tersebut.

Ada dua alasan utama di balik keputusan ini:

  1. SPK yang digunakan adalah dokumen palsu. Dana yang telah dikeluarkan oleh vendor kepada LHS atau untuk menjalankan proyek, pada dasarnya bersumber dari surat yang tidak sah.
  2. Kelalaian vendor dalam memverifikasi keabsahan dokumen. Kemenperin menilai bahwa para vendor juga harus memiliki tanggung jawab dalam memastikan keabsahan SPK sebelum menjalankan pekerjaan atau menyerahkan dana.

Keputusan ini menimbulkan konsekuensi besar. Jika kementerian tetap melakukan pembayaran atas dasar SPK fiktif dengan menggunakan anggaran tahun 2025, tindakan tersebut bisa dianggap penyalahgunaan anggaran negara dan berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.

“Kami tidak ingin melanggar hukum atau terlibat dalam korupsi hanya untuk menutupi kerugian vendor. Semua pihak harus bertanggung jawab sesuai porsi masing-masing,” tegas Febri.

Pesan Tegas: Tidak Ada Ruang untuk Penyalahgunaan Wewenang

Kasus LHS menambah daftar panjang praktik kecurangan di lingkungan pemerintahan, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat. Langkah tegas Kemenperin dengan menyerahkan kasus ini ke Bareskrim memberikan pesan bahwa tidak ada ruang bagi oknum nakal di birokrasi.

Kini, bola berada di tangan aparat kepolisian. Dengan status LHS sebagai buronan, pertanyaannya adalah seberapa cepat pihak berwenang dapat menangkapnya dan membawa kasus ini ke meja hijau?

Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat bahwa transparansi dan pengawasan ketat dalam sistem administrasi negara adalah mutlak. Harapannya, kejadian serupa tidak akan terulang, dan para pejabat yang diberikan amanah benar-benar menjalankan tugasnya dengan integritas.

Seiring berjalannya waktu, kasus ini akan terus berkembang. Apakah akan ada tersangka lain? Berapa besar kerugian negara akibat SPK fiktif ini? Semua masih menjadi tanda tanya besar. Yang jelas, masyarakat menanti penegakan hukum yang adil dan tuntas.

(Mond)

#Bareskrim #Kemenperin #SPKFiktif #Hukum