Breaking News

Fenomena Kumpul Kebo di Indonesia: Antara Pergeseran Nilai, Tantangan Sosial, dan Dampak yang Tak Terhindarkan

Foto: Ilustrasi Seks (Dok: Freepik)

D'On, Jakarta
- Dinamika sosial di Indonesia terus berkembang, dan salah satu fenomena yang kini semakin nyata adalah meningkatnya pasangan yang memilih tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan—atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘kumpul kebo’. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga mulai merambah ke lingkungan aparatur negara.

Baru-baru ini, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, mengumumkan pemecatan delapan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap melanggar kode etik dan disiplin, termasuk karena hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Sanksi ini menjadi bukti bahwa fenomena ini kini tidak lagi terbatas pada ruang privat, tetapi sudah menimbulkan dampak sosial dan profesional di berbagai sektor.

Namun, mengapa fenomena ‘kumpul kebo’ semakin marak di Indonesia?

Menurut laporan The Conversation, pergeseran cara pandang terhadap pernikahan menjadi salah satu pemicunya. Bagi sebagian anak muda, pernikahan kini bukan lagi dianggap sebagai keharusan, melainkan sebuah pilihan yang diiringi dengan berbagai konsekuensi sosial dan hukum.

Di sisi lain, ada yang melihat ‘kumpul kebo’ sebagai bentuk cinta yang lebih tulus dan tanpa paksaan. Dalam sudut pandang ini, kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dianggap sebagai alternatif yang lebih fleksibel dibandingkan dengan ikatan pernikahan yang dipandang kaku dan penuh aturan.

Namun, bagaimana fenomena ini berkembang di tengah budaya Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi nilai agama dan tradisi?

Sebaran Fenomena Kumpul Kebo: Kota dengan Angka Tertinggi Bukan Jakarta

Berdasarkan studi tahun 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation, fenomena ‘kumpul kebo’ lebih sering terjadi di wilayah timur Indonesia, khususnya daerah dengan mayoritas penduduk non-Muslim. Salah satu kota dengan angka kohabitasi tertinggi adalah Manado, Sulawesi Utara.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, dalam penelitiannya mengungkap bahwa 0,6% penduduk Manado memilih untuk hidup bersama tanpa pernikahan.

Studi tersebut juga mengungkap beberapa alasan utama yang mendorong pasangan di Manado untuk memilih hidup bersama tanpa ikatan sah, yaitu:

  1. Beban Finansial – Pernikahan dianggap sebagai institusi yang menuntut biaya tinggi, baik dalam penyelenggaraan acara pernikahan maupun kehidupan setelahnya.
  2. Prosedur Perceraian yang Rumit – Banyak pasangan enggan menikah secara resmi karena takut menghadapi proses perceraian yang panjang dan sulit jika hubungan tidak berjalan baik.
  3. Penerimaan Sosial – Di beberapa komunitas, khususnya di daerah dengan mayoritas non-Muslim, kohabitasi lebih diterima dibandingkan di daerah yang lebih konservatif.

Dalam studi yang sama, ditemukan pula beberapa karakteristik pasangan yang hidup dalam kohabitasi di Manado:

  • 1,9% dari pasangan kohabitasi sedang hamil saat survei dilakukan.
  • 24,3% berusia di bawah 30 tahun.
  • 83,7% memiliki tingkat pendidikan SMA atau lebih rendah.
  • 53,5% bekerja di sektor informal, sementara 11,6% tidak bekerja.

Fakta ini menunjukkan bahwa kohabitasi bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi juga berkelindan dengan faktor sosial-ekonomi yang kompleks.

Dampak Kohabitasi: Dari Ketidakpastian Finansial hingga Efek Psikologis

Meski sebagian pasangan melihat kohabitasi sebagai pilihan hidup yang lebih sederhana dan realistis, kenyataannya fenomena ini membawa sejumlah dampak, terutama bagi perempuan dan anak.

  1. Ketidakpastian Finansial
    Dalam pernikahan, hukum memberikan perlindungan bagi istri dan anak dalam bentuk nafkah, hak waris, dan hak asuh anak. Namun, dalam kohabitasi, tidak ada regulasi yang mengatur hak-hak tersebut. Jika hubungan berakhir, perempuan dan anak kerap kali kehilangan jaminan finansial dan akses ke bantuan hukum.

  2. Masalah Kesehatan Mental
    Hidup bersama tanpa komitmen hukum sering kali membawa dampak psikologis, terutama karena ketidakpastian masa depan hubungan. Penelitian PK21 menemukan bahwa 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam berbagai bentuk, dari tegur sapa yang minim hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

  3. Konsekuensi bagi Anak
    Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi menghadapi tantangan besar dalam aspek identitas dan sosial. Stigma ‘anak haram’ masih kuat di masyarakat, bahkan dari lingkungan keluarga sendiri. Akibatnya, banyak anak yang mengalami kebingungan identitas, kesulitan dalam penerimaan sosial, dan risiko gangguan perkembangan emosional.

Fenomena Kumpul Kebo: Sebuah Keniscayaan atau Ancaman bagi Struktur Sosial?

Dengan meningkatnya angka kohabitasi di Indonesia, muncul pertanyaan besar: Apakah ini akan menjadi bagian dari perubahan sosial yang tak terhindarkan, atau justru menjadi ancaman bagi tatanan keluarga dan masyarakat?

Bagi sebagian kalangan, kohabitasi adalah refleksi dari kebebasan individu dalam menentukan hubungan. Namun, di sisi lain, masih ada kekhawatiran besar terkait dampak jangka panjangnya, terutama terhadap stabilitas keluarga dan kesejahteraan anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut.

Terlepas dari pro dan kontra, satu hal yang jelas: fenomena ‘kumpul kebo’ bukan lagi sekadar isu moral, tetapi juga berkaitan dengan kebijakan sosial, ekonomi, dan hukum yang perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak.

Pemerintah, akademisi, dan tokoh masyarakat perlu duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik—bukan sekadar dengan hukuman atau stigma, tetapi dengan pendekatan yang lebih bijak dalam memahami perubahan nilai dan tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini.

(Mond)

#Fenomena #KumpulKebo #Nasional