Jeritan Effendi: Ayah yang Berani Menantang Menteri ESDM Demi Gas untuk Keluarganya
Effendi Menentang Keras Bahlil Lahadalia Terkait Aturan Penjualan Gas Elpiji 3Kg
D'On, Tangerang – Di tengah panasnya matahari siang, antrean warga mengular di salah satu pangkalan gas melon di Permunas 1, Kota Tangerang, pada Selasa (4/2/2025) siang. Wajah-wajah lelah menahan gerah, tangan-tangan kosong menanti giliran, dan suara keluhan yang menggema di antara kerumunan menjadi saksi betapa rakyat kecil semakin terhimpit. Namun, di antara hiruk-pikuk itu, seorang pria bernama Effendi melangkah maju, menerobos barisan dengan keberanian yang tak terduga. Ia bukan siapa-siapa—hanya seorang warga biasa dari Kelurahan Cibodasari, seorang ayah yang sedang mencari gas untuk menanak nasi bagi keluarganya.
Siang itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia turun langsung meninjau kondisi di lapangan. Didampingi ajudan dan pejabat daerah, ia berdiri di tengah antrean, memasang senyum yang terkesan dingin di hadapan warga yang sedang mengalami krisis akibat kebijakan penghapusan pengecer gas 3 kg. Kebijakan yang katanya bertujuan menertibkan distribusi ini justru menciptakan kepanikan, antrean panjang, dan kelangkaan di mana-mana.
Effendi, mengenakan kemeja abu-abu lusuh dan topi cokelat yang tampak kumal karena sering dipakai bekerja, tidak bisa lagi menahan gejolak di dadanya. Dengan langkah tegap, ia mendekati Menteri Bahlil dan tanpa ragu mulai melontarkan jeritan hatinya.
"Saya sekarang lagi masak, saya tinggal di rumah! Bukan soal antre gasnya, anak kami lapar butuh makan, butuh kehidupan, Pak! Logika jalan dong, Pak!" Suaranya bergetar, bukan hanya karena marah, tapi juga karena putus asa.
Orang-orang di sekitarnya terdiam. Mereka tahu, apa yang dikatakan Effendi bukan hanya miliknya seorang. Itu adalah suara jutaan rakyat yang selama ini dipaksa tunduk pada kebijakan yang mengabaikan penderitaan mereka. Namun, di hadapan Effendi yang penuh gejolak, Bahlil justru terlihat kikuk. Senyumnya yang tadi tampak dibuat-buat berubah kecut.
Alih-alih memberikan jawaban tegas atau solusi konkret, tangan Bahlil hanya menepuk-nepuk pundak Effendi, seolah mencoba menenangkan. Tapi bagi Effendi, tepukan itu tak lebih dari simbol kosong—sebuah bentuk kepasrahan dari seorang pejabat yang kehabisan kata-kata ketika dihadapkan pada kenyataan rakyatnya sendiri.
Bagi Effendi, ini bukan sekadar antrean gas. Ini adalah soal perut anak-anaknya yang harus diisi. Ini adalah soal masa depan yang semakin gelap bagi rakyat kecil yang terus dipermainkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Dan hari itu, di tengah antrean yang semakin panjang, di bawah matahari yang semakin menyengat, Effendi telah melakukan sesuatu yang tak banyak orang berani lakukan: ia berdiri, menatap langsung mata penguasa, dan menuntut haknya dengan suara lantang.
Namun, apakah suaranya akan didengar? Ataukah akan hilang begitu saja, tenggelam dalam deretan kebijakan yang semakin menekan rakyat kecil? Waktu yang akan menjawabnya. Tapi satu hal yang pasti: hari ini, Effendi telah berbicara untuk semua yang selama ini hanya bisa diam.
(Mond)
#Viral #BahlilLahadalia #AntriGas #GasMelon #GasElpiji3Kg