Kontroversi Penetapan Hasto Kristiyanto sebagai Tersangka: KPK Dinilai Langgar Hukum hingga Panggil Saksi yang Sudah Meninggal
Kuasa hukum Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, memberikan keterangan kepada awak media usai menghadiri sidang praperadilan terkait pengujian keabsahan penetapan kliennya sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI 2019 Harun Masiku, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).
D'On, Jakarta – Penetapan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai sorotan. Tim hukum yang membelanya menilai ada kejanggalan serius dalam prosedur hukum yang diterapkan lembaga antirasuah tersebut. Tak hanya dinilai menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KPK juga dikritik karena memanggil saksi yang telah meninggal dunia dalam kasus ini.
Dugaan Pelanggaran Hukum oleh KPK
Pakar hukum sekaligus kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyampaikan bahwa KPK telah menyalahi prosedur hukum dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka. Menurutnya, berdasarkan KUHAP, penetapan tersangka harus melalui serangkaian penyidikan yang diawali dengan pengumpulan bukti. Namun dalam kasus Hasto, KPK justru diduga menetapkan status tersangka sebelum proses penyidikan berjalan secara komprehensif.
"Standar Operasional Prosedur (SOP) KPK dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka ini tidak sesuai dengan KUHAP. Seharusnya, penyidikan dilakukan lebih dulu dengan mencari dan mengumpulkan bukti, lalu tersangkanya ditetapkan setelah itu. Namun dalam kasus Hasto, KPK seolah membalik prosedur. Ini pelanggaran serius," tegas Maqdir seusai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).
Maqdir juga menyoroti kejanggalan lain dalam kasus ini. Hasto disangkakan melakukan dua tindak pidana secara kumulatif, yakni menghalangi penyidikan atau obstruction of justice dan dugaan suap dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) mantan calon legislatif PDIP, Harun Masiku. Namun, menurutnya, kedua tuduhan ini bertentangan satu sama lain dan tidak logis jika diterapkan secara bersamaan.
"KPK lebih dulu menuduh Hasto melakukan obstruction of justice, sementara sumber utama dari dugaan itu adalah perbuatan suap-menyuap. Bagaimana bisa tuduhan terhadap peristiwa yang belum terbukti justru dijadikan dasar bagi tuduhan lain? Ini bertentangan secara logika hukum. Jika ada kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka, sekecil apa pun, seharusnya hal itu menjadi alasan kuat untuk membatalkan status tersangka," paparnya.
Skenario Kumulatif yang Dipertanyakan
Tak hanya itu, Maqdir juga menyoroti persoalan terkait pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini. Salah satu nama yang muncul adalah Saiful Bahri, yang sebelumnya sudah divonis dalam kasus terkait. Namun, Maqdir mengkhawatirkan bahwa KPK bisa saja kembali menggunakan Saiful sebagai saksi, atau bahkan menjadikannya tersangka kembali dalam skenario hukum yang dibuat-buat.
"Ini yang harus diperhatikan secara cermat. Jika dalam kasus ini KPK menggunakan pendekatan kumulatif secara objektif dan subjektif, maka hal itu perlu dikritisi lebih lanjut. Jangan sampai terjadi kesewenang-wenangan dalam proses hukum," ungkapnya.
KPK Panggil Saksi yang Sudah Meninggal Dunia
Di tengah kritik terhadap prosedur hukum yang digunakan KPK, muncul kejanggalan lain yang semakin menguatkan dugaan ketidaksesuaian dalam proses penyidikan. KPK diketahui sempat memanggil Viryan Azis sebagai saksi dalam kasus ini. Padahal, fakta menunjukkan bahwa Viryan telah meninggal dunia pada April 2022.
"Bagaimana bisa seseorang yang sudah lama meninggal masih dipanggil sebagai saksi? Ini menunjukkan ketidaktelitian yang luar biasa. Entah ini karena ketidaktahuan atau justru kesembronoan dalam mencari saksi. Kalau hal semacam ini dibiarkan, yang rusak bukan hanya kasus ini, tapi seluruh sistem hukum kita," kritik Maqdir dengan nada tajam.
Menurutnya, kesalahan semacam ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada motif lain di balik penetapan Hasto sebagai tersangka. Ia berharap agar publik dan pihak terkait bisa melihat kasus ini secara objektif dan tidak sekadar menerima begitu saja keputusan KPK.
Upaya Praperadilan: Menantang Status Tersangka
Saat ini, Tim Hukum Hasto telah mengajukan permohonan praperadilan untuk menguji legalitas status tersangka yang disematkan KPK terhadapnya. Mereka menegaskan bahwa Hasto tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan dan bahwa prosedur hukum yang digunakan KPK lebih terkesan bermuatan politis daripada berdasarkan fakta hukum yang kuat.
Penetapan Hasto sebagai tersangka diumumkan oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto, pada 24 Desember 2024. Kasus ini terkait dengan dugaan suap dalam proses PAW Harun Masiku, sosok yang hingga kini masih buron sejak 2020. Namun, tim hukum Hasto menilai bahwa kasus ini terlalu dipaksakan dan lebih bermotif politik daripada pencarian keadilan.
"Mari kita periksa bukti-buktinya secara objektif. Apakah bukti yang ada benar-benar substansial dan relevan? Apakah bukti itu diperoleh dengan cara yang sah sesuai KUHAP? Jika tidak, maka ini bukan lagi penegakan hukum, melainkan bentuk kriminalisasi," pungkas Maqdir.
Kasus ini terus berkembang dan menjadi sorotan publik. Sidang praperadilan akan menjadi ujian penting bagi integritas hukum di Indonesia. Akankah penetapan tersangka terhadap Hasto Kristiyanto bertahan, atau justru akan dibatalkan oleh pengadilan? Semua mata kini tertuju pada langkah hukum berikutnya dalam drama politik dan hukum yang semakin memanas ini.
(Mond)
#KPK #Hukum #HastoKristiyanto #Praperadilan