Membongkar Potensi Bisnis di Balik Rehabilitasi Narkoba: Legislator Ingatkan Pemerintah
Ilustrasi prostitusi dan narkoba. Foto: chayanuphol/Shutterstock
D'On, Jakarta – Rehabilitasi narkoba di Indonesia seharusnya menjadi solusi bagi pengguna untuk lepas dari jerat ketergantungan. Namun, di balik niat baik itu, muncul kekhawatiran bahwa proses rehabilitasi bisa disalahgunakan menjadi ‘lahan bisnis’ baru. Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mafirion, menyoroti celah dalam sistem rehabilitasi yang berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk keuntungan pribadi.
Dalam rapat bersama Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, di Komisi XIII DPR RI, Senin (17/2), Mafirion menegaskan bahwa mekanisme rehabilitasi narkoba harus diatur lebih ketat agar tidak menjadi ‘industri baru’ yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
"Rehabilitasi narkoba ini bukan tidak ada, sudah ada. Tapi perlu dibuat aturan lebih detail agar tidak terjadi penyalahgunaan. Jangan sampai orang yang ditangkap langsung dimasukkan ke pusat rehabilitasi tanpa kontrol yang jelas, hanya karena aturan kita tidak tegas," tegas Mafirion.
Biaya Ganda: Siapa yang Diuntungkan?
Mafirion mencurigai adanya potensi permainan di balik proses rehabilitasi ini. Ia menyoroti kemungkinan bahwa seseorang yang tertangkap karena narkoba bisa dengan mudah dipindahkan ke pusat rehabilitasi, tanpa pengawasan yang ketat, sehingga menimbulkan biaya ganda yang justru menjadi beban bagi negara atau keluarga korban.
"Jangan sampai rehabilitasi ini jadi mata pencaharian baru. Orang ditangkap, lalu dimasukkan ke situ (pusat rehabilitasi), dan akhirnya biaya yang harus dikeluarkan menjadi dobel. Ini yang perlu diwaspadai," ujar Mafirion dengan nada peringatan.
Fenomena ini berisiko menciptakan ‘jalur pintas’ bagi mereka yang ingin lolos dari jeratan hukum. Dengan membayar sejumlah uang atau memanfaatkan celah aturan, seseorang yang seharusnya mendapatkan hukuman pidana bisa saja dipindahkan ke pusat rehabilitasi tanpa mekanisme yang jelas.
Regulasi yang Perlu Ditinjau Ulang
Tak hanya itu, Mafirion juga menyinggung Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selama ini menjadi dasar dalam pengendalian, pengawasan, dan penindakan terhadap peredaran serta penyalahgunaan narkoba. Ia menilai bahwa aturan dalam undang-undang tersebut perlu dievaluasi ulang untuk memastikan bahwa rehabilitasi benar-benar diberikan kepada mereka yang berhak, bukan sebagai jalan keluar bagi pelaku penyalahgunaan hukum.
"Undang-undang narkoba harus ditinjau ulang. Jangan sampai ada celah yang memungkinkan orang yang seharusnya dijerat hukum malah bisa menghindarinya dengan alasan rehabilitasi. Ini yang perlu kita bahas lebih dalam ke depannya," kata Mafirion.
Respons Pemerintah: Jaminan Ketat dalam Proses Rehabilitasi
Menanggapi kekhawatiran ini, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa pemerintah sudah memiliki aturan ketat mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan rehabilitasi. Ia memastikan bahwa program rehabilitasi narkotika hanya diperuntukkan bagi pengguna dengan barang bukti di bawah satu gram.
"Untuk kasus narkotika, rehabilitasi hanya ditujukan bagi pengguna, bukan bandar atau pengedar. Itu pun ada syarat ketat: barang bukti harus di bawah satu gram," jelas Supratman.
Ia juga menekankan bahwa pengguna narkoba tidak seharusnya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (lapas), melainkan menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan rehabilitasi sebagai upaya pemulihan.
"Seharusnya mereka tidak berada di lapas, karena itu bukan solusi. Yang benar adalah negara memberikan rehabilitasi sebagai bentuk kewajiban dalam penyelesaian masalah narkoba," tambahnya.
Mencegah Rehabilitasi Jadi ‘Industri Gelap’
Pernyataan Supratman menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Namun, tanpa pengawasan yang ketat dan aturan yang jelas, kekhawatiran bahwa rehabilitasi bisa menjadi bisnis terselubung tetap menjadi ancaman nyata.
Masyarakat dan para pemangku kepentingan harus terus mengawasi implementasi aturan ini agar rehabilitasi tidak disalahgunakan sebagai jalan pintas untuk menghindari hukuman pidana atau bahkan dijadikan ladang bisnis oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari lemahnya sistem.
Ke depan, revisi Undang-Undang Narkotika yang lebih ketat dan mekanisme kontrol yang transparan menjadi kunci utama agar rehabilitasi tetap berjalan sesuai tujuannya: menyelamatkan pengguna narkoba, bukan menjadi celah bisnis baru yang menguntungkan segelintir orang.
(Mond)
#RehabilitasiNarkoba #DPR #Narkoba #Nasional