Membongkar Skandal SPK Fiktif: Eks Pejabat Kemenperin dan Jaringannya dalam Pusaran Dugaan Korupsi
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif. Foto: Kemenperin
D'On, Jakarta – Sebuah skandal keuangan yang melibatkan eks Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengguncang publik. Seorang mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) berinisial LHS diduga menjadi otak di balik penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif sejak tahun 2023 hingga 2024.
Investigasi internal Kemenperin mengungkap bahwa LHS menjalankan aksinya dengan berbagai modus operandi yang rapi dan sistematis, membuat banyak vendor tertipu. Tidak hanya itu, aliran dana dari skandal ini juga mengarah ke beberapa pihak yang mengejutkan, termasuk selebriti dan investor.
Modus Operandi: Skema Licik di Balik SPK Fiktif
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, dalam keterangannya pada Minggu (16/2), menjabarkan empat modus utama yang dilakukan LHS dalam menerbitkan SPK fiktif ini.
1. SPK di luar sistem resmi
LHS menandatangani SPK dengan vendor atau investor yang tidak terdaftar dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kemenperin. Biasanya, setiap proses pengadaan barang dan jasa harus melalui sistem ini agar transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, dalam kasus ini, LHS memotong jalur tersebut dan mengeluarkan SPK tanpa prosedur standar yang seharusnya diterapkan.
Bahkan, ia diduga tidak pernah melaporkan calon pemenang proyek kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil seperti yang diwajibkan dalam prosedur resmi.
2. Penggelembungan anggaran
LHS diduga mencatut anggaran dari mata anggaran 019.EC.6058.QDI.001.051.A.522191 senilai Rp 590 juta untuk membiayai SPK fiktifnya. Namun, angka ini jauh lebih rendah dari nilai proyek yang sebenarnya, sehingga tidak bisa menjadi dasar pembiayaan yang sah.
Dengan kata lain, LHS menggunakan anggaran yang tidak cukup untuk mengesahkan proyek fiktifnya, menciptakan celah hukum yang membuat dana dari vendor bisa "diputar" dengan skema tertentu.
3. Proyek fiktif tanpa keterlibatan pegawai Kemenperin
Dalam setiap proyek yang berjalan di bawah SPK fiktif ini, tidak ada satu pun pegawai Kemenperin yang terlibat. Semua proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dilakukan oleh pihak luar yang tidak ada hubungannya dengan program resmi Kemenperin.
Hal ini menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak pernah benar-benar ada dalam struktur Kemenperin, melainkan hanya rangkaian transaksi yang dibuat seolah-olah sah.
4. Pencairan dana di luar sistem keuangan negara
Biasanya, setiap proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dibayarkan melalui mekanisme resmi, yaitu transfer dari Kas Negara ke rekening penyedia jasa melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
Namun, dalam kasus ini, pencairan dana dilakukan melalui rekening pribadi—baik milik LHS sendiri maupun pihak lain yang terlibat. Praktik ini mengindikasikan adanya pelanggaran serius dalam pengelolaan keuangan negara, serta memungkinkan dugaan pencucian uang dalam kasus ini.
Skema Ponzi dan Aliran Dana Mencurigakan
Kemenperin telah melaporkan kasus ini ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri pada Kamis (13/2). Dalam laporannya, ditemukan indikasi bahwa uang dari vendor yang tertipu oleh LHS dialirkan dengan pola mirip skema Ponzi.
Dugaan ini mengarah pada temuan berikut:
- Dana yang diterima oleh LHS dari vendor tidak langsung digunakan untuk proyek, melainkan untuk membayar vendor lain yang sebelumnya juga telah menerima SPK fiktif.
- Sebagian dana justru digunakan oleh LHS untuk keperluan pribadinya, termasuk transaksi mencurigakan dengan nominal besar.
- Ada indikasi dana mengalir ke seorang artis atau selebgram berinisial "M", dengan jumlah lebih dari Rp 400 juta.
Selain itu, dugaan lainnya mengungkap bahwa dana yang diberikan vendor kepada LHS tidak berasal dari satu sumber saja. Ada indikasi bahwa dana ini berasal dari investor perorangan, lembaga keuangan, hingga pejabat negara.
Kortas Tipikor kini tengah melacak aliran dana ini dengan metode follow the money, untuk mengungkap siapa saja yang sebenarnya menikmati hasil dari kejahatan ini dan dari mana dana tersebut berasal.
Konsekuensi: Vendor Merugi, LHS DPO
LHS saat ini telah dicopot dari jabatannya, ditetapkan sebagai tersangka, dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polri. Ia diduga terlibat dalam beberapa kejahatan keuangan, termasuk penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kemenperin juga telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan membayar uang yang telah diberikan vendor kepada LHS, maupun dana yang telah digunakan untuk proyek berbasis SPK fiktif.
Keputusan ini didasarkan pada dua alasan utama:
- SPK yang diterbitkan tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum dalam sistem keuangan negara.
- Kelalaian vendor dalam memverifikasi keabsahan SPK, sehingga mereka sendiri ikut bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami.
Arah Penyelidikan Selanjutnya
Kasus ini semakin berkembang dan berpotensi menyeret lebih banyak nama ke dalam pusaran dugaan korupsi. Kortas Tipikor Polri kini fokus pada dua aspek utama dalam penyelidikan:
- Menelusuri jejak uang yang ditransfer dari LHS ke berbagai pihak, termasuk vendor lain, selebriti, dan pihak lain yang menerima dana mencurigakan.
- Mencari tahu sumber dana vendor yang digunakan untuk memberikan uang kepada LHS, terutama apakah ada keterlibatan pihak-pihak yang lebih besar dalam skema ini.
Kasus SPK fiktif ini menjadi cerminan bagaimana celah dalam sistem birokrasi masih dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi.
Jika terbukti adanya praktik suap dan pencucian uang dalam skandal ini, maka tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada tersangka baru yang berasal dari lingkaran investor, pejabat negara, atau bahkan kalangan hiburan.
Publik kini menantikan bagaimana aparat penegak hukum menuntaskan kasus ini dan membawa semua pihak yang terlibat ke meja hijau.
(Mond)
#SPKFiktif #Kemenperin #Korupsi