Menguak Skandal Blending BBM: Kejagung Ungkap Lokasi dan Modus Korupsi Pertamina Patra Niaga
Konferensi pers Kejagung terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah di Subholding Pertamina, Rabu (26/2/2025).
D'On, Jakarta – Kasus dugaan korupsi yang mengguncang tata kelola minyak mentah di tubuh Pertamina Patra Niaga kini semakin terang benderang. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa proses blending bahan bakar minyak (BBM), yang menjadi inti dari praktik curang ini, terjadi di fasilitas milik perusahaan swasta, PT Orbit Terminal Merak.
Fasilitas ini, yang diketahui berada di bawah kendali Muhammad Kerry Adrianto Riza, putra dari pengusaha minyak ternama Riza Chalid, diduga menjadi tempat utama pencampuran BBM dengan metode yang menyalahi aturan. Dengan modus operandi yang terstruktur, tersangka dalam kasus ini mencampurkan minyak beroktan rendah (RON 88/Premium) dengan minyak beroktan lebih tinggi (RON 92/Pertamax) guna menghasilkan BBM yang memiliki karakteristik mirip Pertamax, tetapi dengan biaya produksi yang jauh lebih murah.
Menguak Skema Blending Ilegal: Premium dan Pertamax Dijual Sebagai BBM Berkualitas Tinggi
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa modus operandi ini bukan sekadar pencampuran biasa. Praktik blending dilakukan dengan tujuan memanipulasi nilai jual BBM, sehingga para pelaku dapat meraup keuntungan besar dengan menjual BBM berkualitas lebih rendah dengan harga lebih tinggi.
“Blending dilakukan antara RON 88 (Premium) dengan RON 92 (Pertamax) di terminal milik tersangka MKAR (Muhammad Kerry Adrianto Riza) dan GRJ (Gading Ramadhan Joedo),” ungkap Qohar dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Rabu (27/2/2025) malam.
Lebih lanjut, penyidik Kejagung menemukan bahwa skema ini bukan hanya sekadar pencampuran RON 90 (Pertalite) dengan Pertamax, sebagaimana dugaan awal. Temuan dari hasil penyelidikan yang mendalam justru menunjukkan bahwa pencampuran RON 88 (Premium) dengan RON 92 (Pertamax) terjadi secara sistematis dan melibatkan sejumlah pejabat tinggi Pertamina Patra Niaga.
“Tersangka Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga) serta Edward Corne (VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga) diketahui melakukan pembelian BBM dengan angka oktan rendah tetapi menetapkan harga jual setara dengan Pertamax,” jelas Qohar.
Tersangka Maya disebut sebagai aktor utama dalam skema ini. Ia diketahui memberikan instruksi kepada tersangka Edward Corne untuk melakukan pencampuran Premium dan Pertamax, lalu menjualnya sebagai Pertamax murni di pasar. Dengan cara ini, keuntungan yang didapat dari selisih harga bisa mencapai angka yang fantastis, sekaligus merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Penyelidikan Kejagung: Bukti Kuat dan Keterlibatan Pejabat Tinggi
Seiring dengan semakin terkuaknya kasus ini, penyidik Kejagung menegaskan bahwa temuan mereka didasarkan pada alat bukti yang kuat. Fakta yang dikumpulkan menunjukkan bahwa praktik blending ilegal ini tidak sekadar melibatkan zat aditif untuk meningkatkan oktan, tetapi benar-benar mencampurkan dua jenis BBM dengan oktan berbeda.
“Penyidik menemukan bukti-bukti konkret, baik dalam bentuk dokumen transaksi, kesaksian para tersangka, serta hasil uji laboratorium BBM yang menunjukkan ketidaksesuaian kadar oktan dengan spesifikasi yang seharusnya,” tegas Qohar.
Meski demikian, ia juga menegaskan bahwa penyelidikan lebih lanjut masih terus dilakukan, termasuk analisis oleh tim ahli untuk menilai apakah ada zat aditif tambahan yang digunakan dalam proses pencampuran ini.
“Apakah ada tambahan zat aditif atau tidak, itu masih akan diteliti lebih lanjut oleh ahli. Namun, berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi, fakta yang terungkap menunjukkan praktik pencampuran BBM yang jelas-jelas menyalahi aturan,” pungkasnya.
Dampak Besar: Kerugian Negara dan Potensi Risiko Bagi Konsumen
Kasus ini bukan hanya mencerminkan praktik korupsi yang merugikan negara, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat luas. Pasalnya, BBM hasil blending ilegal ini kemungkinan memiliki kualitas yang tidak sesuai standar, yang bisa berdampak buruk bagi performa kendaraan dan lingkungan.
Selain itu, dampak ekonomi dari praktik ini sangat besar. Dengan perbedaan harga yang cukup signifikan antara Premium, Pertalite, dan Pertamax, keuntungan ilegal yang diraup para pelaku bisa mencapai triliunan rupiah, sementara negara kehilangan potensi pemasukan yang seharusnya diperoleh dari penjualan BBM dengan harga yang sesuai.
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa pengusutan kasus ini akan terus berlanjut, dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru seiring dengan semakin banyaknya bukti yang terungkap.
Sebagai konsumen, masyarakat diharapkan tetap waspada terhadap praktik-praktik manipulasi BBM seperti ini, yang pada akhirnya tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat berdampak langsung pada kualitas BBM yang digunakan sehari-hari.
Kesimpulan: Akankah Ini Menjadi Titik Balik Pengelolaan BBM di Indonesia?
Terungkapnya skandal ini membuka tabir tentang bagaimana praktik manipulasi harga dan kualitas BBM bisa terjadi dalam skala besar. Dengan penyidikan yang semakin mengerucut, diharapkan kasus ini bisa menjadi titik balik dalam tata kelola industri BBM di Indonesia, agar praktik serupa tidak lagi terulang di masa depan.
Kini, mata publik tertuju pada langkah Kejaksaan Agung. Apakah kasus ini akan membawa perubahan signifikan dalam pengawasan dan transparansi pengelolaan BBM di Indonesia? Ataukah ini hanya satu dari sekian banyak skandal yang akan terus berulang?
Waktu yang akan menjawab.
(Mond)
#Korupsi #Kejagung #PertaminaPatraNiaga #PertamaxOplosan