Breaking News

Misteri Pemalsuan Sprindik KPK: ASN NTT dan Dua Rekan Dijerat Hukum

Konferensi pers tindak pidana pemalsuan dokumen Sprindik dan surat panggilan KPK, di Polres Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2025).

D'On, Jakarta
– Sebuah drama kriminal yang melibatkan pemalsuan dokumen negara terungkap di ibu kota. Polres Metro Jakarta Pusat berhasil membongkar kasus pemalsuan surat perintah penyidikan (Sprindik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang melibatkan tiga tersangka, salah satunya adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam konferensi pers di Mapolres Metro Jakarta Pusat pada Jumat (7/2), Kasat Reskrim AKBP Muhammad Firdaus menjelaskan bahwa ketiga tersangka tersebut adalah AA (40) dan JFH (47)—keduanya wiraswasta—serta FFF (50), seorang ASN yang bertugas di Dinas Kehutanan Pemprov NTT.

"Tim gelar perkara telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka melakukan pemalsuan dokumen Sprindik dan surat panggilan KPK dengan tujuan menekan seseorang," ujar Firdaus di hadapan awak media.

Operasi Penangkapan: Dari Hotel Mewah ke Jeruji Besi

Pengungkapan kasus ini bukan tanpa drama. Polisi menangkap FFF di Oasis Amir Hotel, Senen, Jakarta Pusat, pada Kamis (6/2). Sementara itu, AA dan JFH lebih dulu diamankan sehari sebelumnya, Rabu (5/2), di Golden Boutique Hotel, Kemayoran. Dua lokasi ini dikenal sebagai tempat pertemuan bisnis dan negosiasi, membuat penyidik menduga ada lebih banyak rahasia yang belum terungkap dalam kasus ini.

Penangkapan ini dilakukan setelah tim kepolisian mendapatkan informasi mengenai pergerakan mencurigakan para tersangka. Mereka diyakini telah menyebarkan dokumen palsu untuk menekan target mereka, yakni mantan Bupati Rote, Leonard Haning.

Modus Operandi: Menjebak Mantan Bupati dengan Surat Palsu

Firdaus mengungkapkan bahwa ketiga tersangka menyusun skenario licik dengan membuat dokumen Sprindik palsu bertanggal 29 Januari 2025. Tidak hanya itu, mereka juga memalsukan surat panggilan resmi KPK untuk memberikan tekanan psikologis kepada Leonard Haning.

"Modus operandi yang digunakan adalah membuat dokumen seolah-olah berasal dari KPK. Dokumen ini kemudian digunakan untuk mengancam seseorang, dalam hal ini mantan Bupati Rote," papar Firdaus.

Motif utama di balik aksi pemalsuan ini masih dalam pendalaman penyidik. Namun, dugaan awal mengarah pada pemerasan atau upaya menjatuhkan reputasi target melalui skenario hukum fiktif.

Jeratan Hukum: Ancaman 12 Tahun Penjara Menanti

Para tersangka kini menghadapi konsekuensi berat atas perbuatan mereka. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 51 jo Pasal 35 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Ancaman hukumannya tidak main-main—maksimal 12 tahun penjara.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa pemalsuan dokumen hukum, apalagi yang mengatasnamakan lembaga negara seperti KPK, bukan kejahatan biasa. Polisi menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat dalam praktik serupa akan ditindak tegas.

Teka-Teki yang Masih Belum Terjawab

Meski polisi telah menangkap tiga pelaku utama, sejumlah pertanyaan masih menggantung:

  1. Siapa dalang sebenarnya di balik pemalsuan ini? Apakah ketiga tersangka hanya eksekutor lapangan atau ada aktor intelektual yang mengendalikan mereka?
  2. Apa tujuan akhir dari pemalsuan ini? Jika tujuannya untuk menekan mantan Bupati Rote, apakah ada agenda politik atau bisnis yang lebih besar di baliknya?
  3. Apakah ada korban lain? Bisa jadi, Leonard Haning bukan satu-satunya target dari praktik pemalsuan dokumen ini.

Kepolisian masih terus mengembangkan penyelidikan. Publik pun menunggu, apakah kasus ini hanyalah fenomena gunung es dari kejahatan pemalsuan dokumen yang lebih luas?

Terungkapnya kasus ini menjadi pengingat bahwa dokumen resmi, terutama yang berhubungan dengan penegakan hukum, harus selalu diverifikasi keasliannya. Bagi masyarakat, waspada terhadap modus serupa adalah langkah pertama untuk menghindari jebakan hukum yang dibuat oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Kini, tiga tersangka telah mendekam di balik jeruji besi, menunggu proses hukum yang akan menentukan nasib mereka. Namun, bagi aparat penegak hukum, pekerjaan belum selesai—masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab dan jaringan kejahatan yang mungkin lebih luas untuk diungkap.

(Mond)

#KPK #PegawaiKPKGadungan #Hukum